Ilustrasi hati yang dipandu cahaya Al-Quran, melambangkan cinta yang suci dan berkah.
Sejak zaman dahulu, hasrat untuk dicintai dan mencintai merupakan fitrah yang tak terpisahkan dari jiwa manusia. Kebutuhan akan pendamping hidup, keharmonisan rumah tangga, dan ikatan batin yang kuat adalah dambaan setiap insan. Dalam pencarian cinta ini, manusia seringkali dihadapkan pada berbagai jalan, baik yang terang benderang sesuai tuntunan agama maupun yang samar dan menyesatkan. Salah satu istilah yang sering muncul dalam konteks pencarian cinta adalah "ilmu pelet".
Di masyarakat, "ilmu pelet" seringkali dipahami sebagai praktik supranatural atau magis yang bertujuan untuk memanipulasi perasaan seseorang agar jatuh cinta atau tunduk pada kehendak orang lain. Konsep ini menimbulkan banyak pertanyaan, terutama bagi umat Muslim yang selalu berusaha menyelaraskan setiap aspek kehidupannya dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah. Apakah ada tempat bagi "ilmu pelet" dalam Al-Quran? Bagaimana Islam memandang praktik semacam ini? Dan yang terpenting, bagaimana Al-Quran mengajarkan cara untuk mendapatkan cinta sejati dan membangun hubungan yang berkah?
Artikel ini akan mengupas tuntas persepsi dan realitas "ilmu pelet" dalam konteks ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Kita akan menggali mengapa praktik semacam itu bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid, serta bagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membekali hamba-Nya dengan cara-cara yang mulia dan berkah untuk mencapai kebahagiaan dalam cinta dan pernikahan. Dengan pemahaman yang benar, diharapkan kita semua dapat terhindar dari jalan kesesatan dan menemukan mahabbah (cinta) yang diridhai oleh-Nya.
Secara umum, "ilmu pelet" merujuk pada praktik sihir atau guna-guna yang ditujukan untuk mempengaruhi hati dan pikiran seseorang secara paksa. Tujuannya bervariasi, mulai dari membuat seseorang jatuh cinta, menundukkan pasangan, hingga mengembalikan kekasih yang telah pergi. Metode yang digunakan pun beragam, seringkali melibatkan mantra, jampi-jampi, ritual tertentu, penggunaan benda-benda mistik, atau bahkan bantuan dari entitas gaib seperti jin atau setan.
Kepercayaan terhadap "ilmu pelet" ini sudah mengakar kuat di berbagai budaya, terutama di Nusantara. Banyak orang yang terdesak oleh urusan cinta atau asmara yang rumit, atau yang merasa putus asa dalam mencari jodoh, lantas beralih ke praktik ini sebagai jalan pintas. Mereka percaya bahwa "ilmu pelet" dapat memberikan solusi instan untuk masalah hati, tanpa perlu melewati proses yang wajar dan sesuai norma.
Namun, perlu ditekankan bahwa esensi dari "ilmu pelet" adalah manipulasi kehendak bebas seseorang. Ini berarti, orang yang terkena "pelet" tidak mencintai atau tertarik secara tulus dari lubuk hatinya, melainkan karena pengaruh eksternal yang bersifat paksaan. Hubungan yang dibangun atas dasar ini cenderung rapuh, penuh kepalsuan, dan seringkali berujung pada masalah yang lebih besar di kemudian hari.
Dalam Islam, praktik "ilmu pelet" dikategorikan sebagai sihir (magic) dan seringkali melibatkan syirik (menyekutukan Allah), yang merupakan dosa besar dan terlarang. Al-Quran dan Sunnah secara tegas mengecam segala bentuk sihir dan praktik yang mengandalkan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa "ilmu pelet" haram hukumnya:
Mayoritas praktik "ilmu pelet" melibatkan permohonan bantuan kepada jin, setan, atau kekuatan gaib lainnya, bukan kepada Allah. Ini adalah bentuk syirik yang paling nyata, yaitu mengalihkan ibadah atau permohonan dari Allah kepada selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Quran:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48)
Mencari pertolongan kepada jin untuk urusan cinta berarti meyakini bahwa jin memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kehendak manusia, yang pada hakikatnya hanya milik Allah. Ini merusak akidah tauhid yang merupakan pondasi utama Islam.
Sihir, termasuk "ilmu pelet", disebutkan dalam Al-Quran sebagai sesuatu yang dipelajari dari setan dan tidak membawa kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman mengenai orang-orang yang mempelajari sihir:
وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di Babil yaitu Harut dan Marut. Dan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari kedua (malaikat) itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak akan dapat memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat. Dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 102)
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan sihir sebagai perbuatan setan yang merugikan, bahkan dapat memisahkan suami istri. Ini menunjukkan betapa seriusnya larangan terhadap sihir dalam Islam.
Islam sangat menjunjung tinggi kehendak bebas dan pilihan manusia. Cinta sejati harus tumbuh secara alami dari ketulusan hati, bukan dari paksaan atau manipulasi. "Ilmu pelet" merampas hak seseorang untuk memilih dan mencintai secara sadar, menjadikannya seperti boneka yang dikendalikan. Hubungan yang terbangun di atas paksaan semacam ini tidak akan pernah berkah dan cenderung membawa kemudaratan.
Praktik "ilmu pelet" dapat merusak tatanan sosial. Seseorang bisa saja merebut pasangan orang lain, atau memaksakan kehendak yang tidak dikehendaki pihak lain, yang memicu permusuhan, kecemburuan, dan kehancuran rumah tangga. Ini bertentangan dengan prinsip Islam yang menyeru pada kebaikan, keadilan, dan menjaga kehormatan sesama.
Ilustrasi timbangan keadilan antara keinginan yang suci dan bahaya praktik terlarang.
Jika "ilmu pelet" adalah jalan yang sesat, lalu bagaimana Al-Quran mengajarkan tentang cinta dan cara mendapatkannya? Islam memiliki konsep cinta yang sangat indah dan mendalam, yang disebut Mahabbah atau Mawaddah, yang berakar pada ketakwaan dan ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala. Cinta dalam Islam bukanlah sekadar nafsu atau ketertarikan fisik sesaat, melainkan ikatan suci yang dibangun atas dasar keimanan, kasih sayang, dan saling pengertian.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia dengan fitrah untuk mencintai dan dicintai. Hasrat untuk memiliki pasangan hidup dan membangun keluarga adalah anugerah Ilahi yang disebutkan dalam Al-Quran sebagai salah satu tanda kebesaran-Nya.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini adalah inti dari konsep cinta dalam pernikahan Islam. Allah menciptakan pasangan agar manusia mendapatkan sakinah (ketenangan), dan meletakkan di antara mereka mawaddah (cinta yang mendalam) dan rahmah (kasih sayang yang tulus). Ini adalah tiga pilar utama rumah tangga Muslim yang bahagia dan berkah.
Mawaddah adalah cinta yang penuh gairah dan ketertarikan, sementara rahmah adalah kasih sayang yang tumbuh dari kepedulian, pengorbanan, dan kesabaran, yang tetap ada bahkan ketika mawaddah mungkin memudar seiring waktu atau cobaan. Keduanya adalah karunia dari Allah, yang tidak dapat dipaksakan atau dimanipulasi dengan sihir.
Cinta yang paling utama dan menjadi dasar bagi semua jenis cinta adalah cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ketika seseorang mencintai Allah di atas segalanya, ia akan berusaha menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketakwaan ini akan terpancar dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam berinteraksi dengan pasangan atau calon pasangan. Orang yang bertakwa cenderung memiliki akhlak mulia, kejujuran, kesabaran, dan tanggung jawab, yang merupakan fondasi kuat bagi hubungan yang sehat dan langgeng.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Mencari pasangan yang bertakwa adalah prioritas utama dalam Islam, karena ketakwaan akan membawa kebaikan dunia dan akhirat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya." (HR. Tirmidzi). Akhlak mulia adalah magnet yang sesungguhnya. Kejujuran, kesopanan, kesabaran, kemampuan berkomunikasi yang baik, dan rasa hormat adalah sifat-sifat yang secara alami menarik hati orang lain. Seseorang yang mempraktikkan akhlak mulia dalam hidupnya, baik terhadap orang tua, keluarga, teman, maupun masyarakat umum, akan dicintai dan dihormati.
Dalam mencari pasangan, Islam menekankan pentingnya akhlak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika datang kepadamu seseorang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya untuk meminang, maka nikahkanlah dia. Jika tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar." (HR. Tirmidzi).
Sumber kekuatan terbesar bagi seorang Muslim adalah doa. Daripada mencari jalan pintas melalui praktik terlarang, seorang Muslim yang beriman akan memohon langsung kepada Allah untuk urusan jodoh dan cinta. Allah adalah Maha Penguasa hati, dan hanya Dialah yang mampu membolak-balikkan hati manusia.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ “Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.” (QS. Ghafir: 60)
Selain doa, tawakkal juga sangat penting. Setelah berusaha dan berdoa, serahkanlah hasilnya sepenuhnya kepada Allah. Yakinlah bahwa Allah akan memberikan yang terbaik, sesuai dengan hikmah dan ilmu-Nya yang tak terbatas, meskipun terkadang apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan apa yang Allah tetapkan sebagai kebaikan bagi kita.
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Ketenangan jiwa dan kepercayaan penuh kepada takdir Allah adalah kunci kebahagiaan, jauh dari kecemasan dan keputusasaan yang mendorong orang pada "ilmu pelet".
Islam tidak mengajarkan pasrah tanpa usaha. Ada tahapan dan etika dalam mencari pasangan atau membina hubungan yang telah ditetapkan syariat:
Setiap tahapan ini dilakukan dengan niat ibadah, kejujuran, dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan atau manipulasi.
Ilustrasi dua tangan membentuk hati, melambangkan ikatan cinta dan komitmen yang tulus.
Dalam praktik "ilmu pelet" yang tidak Islami, terkadang ada oknum yang mencatut ayat-ayat Al-Quran atau doa-doa tertentu untuk tujuan yang salah. Mereka mengklaim bahwa ayat-ayat ini memiliki "khasiat" untuk memikat hati atau mempengaruhi orang lain, padahal niat dan cara penggunaannya sangat bertentangan dengan syariat Islam. Penting untuk memahami bahwa penggunaan ayat Al-Quran untuk tujuan yang tidak dibenarkan adalah bentuk penyalahgunaan dan dapat menyeret pelakunya pada dosa besar, bahkan kekufuran.
Beberapa jenis ayat yang sering disalahpahami meliputi:
Misalnya, kisah Nabi Yusuf Alaihissalam yang dikaruniai ketampanan luar biasa hingga membuat wanita-wanita terpikat (QS. Yusuf: 30-31). Ayat-ayat seperti ini menceritakan tentang karunia Allah, bukan formula untuk mempraktikkan sihir. Ketampanan Nabi Yusuf adalah pemberian ilahi yang tidak bisa ditiru atau direkayasa dengan kekuatan manusia.
Beberapa orang mungkin menggunakan ayat yang berbicara tentang Allah melunakkan hati, seperti dalam kisah Nabi Musa Alaihissalam dan Firaun, atau Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berdakwah:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)
Ayat ini adalah tentang pentingnya akhlak mulia dan kelembutan dalam berdakwah dan berinteraksi. Ini adalah sifat yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang bertakwa, bukan mantra yang bisa digunakan untuk memaksakan kehendak seseorang. Melunakkan hati di sini adalah dengan hikmah, nasihat baik, dan kasih sayang, bukan dengan sihir.
Ada juga yang mencoba menggunakan ayat-ayat ruqyah (pengobatan dengan Al-Quran) atau perlindungan dari setan untuk tujuan "pelet". Padahal, ruqyah adalah untuk mengusir jin pengganggu atau menyembuhkan penyakit dengan izin Allah, bukan untuk memanggil jin atau mempengaruhi manusia secara negatif. Penggunaan yang salah ini adalah bentuk penodaan terhadap kesucian Al-Quran.
Dalam Islam, niat (niyyah) adalah penentu utama sah atau tidaknya suatu amal perbuatan. Menggunakan ayat-ayat Al-Quran dengan niat untuk melakukan sihir, syirik, atau merampas kehendak bebas orang lain adalah kezaliman besar. Ayat-ayat Al-Quran adalah petunjuk, rahmat, dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman, bukan alat untuk melakukan kejahatan.
Bahkan jika seseorang membaca ayat Al-Quran atau doa-doa tertentu, tetapi niatnya adalah untuk memanipulasi atau memaksa, maka perbuatan tersebut tetap haram. Ini sama saja dengan mempermainkan firman Allah dan mengambil jalan setan. Tujuan mulia (misalnya, ingin menikah dengan seseorang) tidak akan membenarkan cara yang haram. Islam mengajarkan bahwa tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang baik pula.
Maka, klaim adanya "ilmu pelet dari Al-Quran" adalah kesesatan yang nyata. Tidak ada satu pun ayat dalam Al-Quran yang melegitimasi atau mengajarkan praktik sihir atau manipulasi hati. Sebaliknya, Al-Quran adalah kitab petunjuk yang membebaskan manusia dari takhayul dan perbudakan setan.
Setelah memahami larangan "ilmu pelet", pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara yang benar dan halal untuk menarik hati seseorang yang kita cintai atau membangun hubungan yang harmonis dan berkah dalam Islam? Jawabannya ada pada prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Al-Quran dan Sunnah, yang mengedepankan ketakwaan, akhlak mulia, doa, dan usaha yang jujur.
Langkah pertama dan terpenting adalah memperbaiki diri sendiri. Ibarat magnet, semakin kuat daya tarik positif yang kita miliki, semakin besar kemungkinan kita menarik kebaikan.
Ini adalah fondasi dari segala kebaikan. Ketika seseorang fokus pada hubungannya dengan Allah, ia akan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ini mencakup:
Seseorang yang bertakwa akan memiliki aura ketenangan, kejujuran, dan kebaikan yang secara alami menarik orang-orang yang juga mencari kebaikan.
Akhlak mulia adalah cerminan dari iman yang kuat. Orang yang berakhlak baik akan dicintai oleh Allah dan manusia. Sifat-sifat yang perlu dikembangkan antara lain:
Akhlak yang baik akan membangun citra positif dan menciptakan kenyamanan bagi orang di sekitar kita, termasuk calon pasangan.
Selain aspek spiritual dan moral, mengembangkan diri dalam hal ilmu dan keterampilan juga penting. Memiliki keahlian, wawasan yang luas, dan kemandirian akan meningkatkan nilai diri seseorang. Ini menunjukkan bahwa kita adalah individu yang produktif, memiliki tujuan hidup, dan mampu bertanggung jawab. Calon pasangan seringkali mencari seseorang yang tidak hanya baik agamanya, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membangun masa depan bersama.
Islam menganjurkan kebersihan dan kerapian. Menjaga kebersihan diri, berpakaian rapi dan pantas (sesuai syariat), serta menjaga kesehatan fisik adalah bentuk syukur atas nikmat tubuh yang Allah berikan. Penampilan yang terawat mencerminkan perhatian terhadap diri sendiri dan menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain.
Setelah memperbaiki diri secara internal, barulah kita melakukan usaha-usaha lahiriah yang sesuai dengan syariat Islam.
Ini adalah senjata ampuh seorang Muslim. Berdoalah kepada Allah untuk diberikan jodoh yang terbaik, yang saleh/salehah, yang dapat membimbing kita ke surga. Doa harus dilakukan dengan yakin, sabar, dan terus-menerus. Waktu-waktu mustajab untuk berdoa:
Ingatlah bahwa Allah mengabulkan doa dengan cara yang terbaik menurut-Nya, bisa jadi langsung dikabulkan, ditunda, atau diganti dengan yang lebih baik.
Jika ada beberapa pilihan calon atau kita merasa ragu, lakukan shalat istikharah. Mohonlah petunjuk kepada Allah agar Dia memilihkan yang terbaik dan memudahkan jalan kebaikan, serta menjauhkan dari keburukan.
Jika ada seseorang yang menarik hati kita dan dirasa sesuai kriteria, atau ada seseorang yang dikenalkan oleh orang tua/teman, lakukan proses ta'aruf. Ini adalah perkenalan dengan niat serius untuk menikah, dilakukan dengan pendamping (wali atau mahram) dan menjaga batasan-batasan syariat (tidak berduaan, tidak bersentuhan, menjaga pandangan). Tujuannya adalah untuk saling mengenal karakter, visi hidup, dan kesiapan masing-masing.
Restu orang tua adalah kunci keberkahan dalam pernikahan. Libatkan mereka dalam proses pencarian jodoh dan dengarkan nasihat mereka. Orang tua biasanya memiliki pandangan yang lebih matang dan mengetahui kebaikan untuk anaknya. Jika mereka setuju, minta mereka untuk membantu dalam proses ta'aruf atau khitbah.
Selama proses mengenal atau setelah menikah, penting untuk senantiasa menjaga interaksi sesuai syariat:
Cinta yang berkah tumbuh dari ketaatan kepada Allah, bukan dari pelanggaran syariat.
Setelah menikah, perjuangan untuk mempertahankan dan menumbuhkan cinta sejati tidak berhenti. Justru ini adalah babak baru yang membutuhkan komitmen, kesabaran, dan usaha bersama.
Setiap individu memiliki keunikan. Saling menghargai perbedaan, memahami kekurangan, dan mengapresiasi kelebihan pasangan adalah kunci. Ini berarti mendengarkan dengan empati, memberikan ruang, dan tidak meremehkan perasaan atau pendapat pasangan.
Terbukalah satu sama lain. Bicarakan masalah, harapan, dan perasaan dengan jujur namun santun. Hindari memendam masalah yang bisa menjadi bom waktu. Komunikasi yang baik adalah jembatan untuk menyelesaikan konflik dan memperkuat ikatan.
Suami dan istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang diatur dalam Islam. Menunaikannya dengan ikhlas adalah bentuk ibadah dan akan menciptakan keharmonisan. Contohnya, suami wajib menafkahi istri dan keluarganya, sedangkan istri wajib menjaga kehormatan diri dan rumah tangga.
Setiap rumah tangga pasti menghadapi ujian. Kesabaran dalam menghadapi cobaan, serta kesediaan untuk berkorban demi kebahagiaan pasangan dan keluarga, adalah esensi dari cinta sejati. Mengutip perkataan Imam Syafi'i, "Jika engkau tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka engkau harus sanggup menahan perihnya kebodohan." Demikian pula dalam rumah tangga, jika tidak sanggup menahan lelahnya berkorban, maka harus sanggup menahan perihnya kehancuran.
Privasi adalah hal yang sangat penting. Jangan menceritakan masalah atau aib rumah tangga kepada orang lain, kecuali kepada orang yang dipercaya untuk memberikan nasihat yang baik (misalnya ulama atau penasihat keluarga yang bijak).
Buah dari pernikahan adalah keturunan. Mendidik anak-anak sesuai ajaran Islam, menanamkan nilai-nilai tauhid, akhlak mulia, dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, akan membawa keberkahan yang tak terhingga bagi keluarga.
Singkatnya, jalan halal menuju cinta sejati dan berkah adalah dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, memperbaiki diri, berdoa, dan melakukan usaha-usaha yang jujur serta sesuai syariat. Ini adalah jalan yang mungkin membutuhkan kesabaran dan proses, namun hasilnya adalah kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat, jauh dari kepalsuan dan kerusakan yang ditawarkan oleh "ilmu pelet".
Pilihan untuk menggunakan "ilmu pelet" mungkin tampak menawarkan solusi instan, tetapi sesungguhnya ia adalah jebakan yang penuh bahaya dan konsekuensi buruk, baik di dunia maupun di akhirat. Pemahaman yang mendalam tentang dampak negatif ini sangat penting agar kita senantiasa menjauhinya.
Hubungan yang dibangun di atas dasar "ilmu pelet" tidak akan pernah tulus dan berkah. Cinta yang dihasilkan adalah palsu, paksaan, dan manipulatif. Orang yang terkena pelet sejatinya tidak mencintai, melainkan dikendalikan. Ini menciptakan hubungan yang rapuh, penuh kecurigaan, ketidaknyamanan, dan ketidakbahagiaan yang mendalam bagi kedua belah pihak.
Cepat atau lambat, efek pelet akan memudar atau bahkan berbalik menjadi kebencian yang mendalam. Banyak kasus menunjukkan bahwa hubungan semacam ini berakhir dengan perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, atau bahkan tindakan yang lebih ekstrem, karena fondasinya bukan cinta sejati, mawaddah, dan rahmah.
Praktisi "ilmu pelet" seringkali mengandalkan bantuan jin atau setan. Ini berarti mereka telah membuka pintu bagi intervensi makhluk gaib dalam hidup mereka. Jin atau setan tidak akan memberikan bantuan secara gratis; mereka menuntut imbalan, biasanya dalam bentuk pengorbanan akidah, melakukan kemaksiatan, atau bahkan menuruti perintah yang merugikan. Akibatnya, pelaku akan semakin terjerumus dalam kemaksiatan dan kehilangan kontrol atas dirinya sendiri, menjadi budak bagi entitas gaib tersebut.
Ini juga bisa berimbas pada keturunan, di mana gangguan jin dapat diwariskan dari generasi ke generasi, menyebabkan masalah yang tidak berkesudahan dalam keluarga.
Orang yang menggunakan "ilmu pelet" sejatinya menunjukkan bahwa ia tidak percaya diri pada kemampuannya sendiri untuk menarik cinta secara alami. Ia merasa tidak cukup baik sehingga harus menggunakan cara-cara curang. Ini merendahkan martabat dirinya sendiri dan pada akhirnya akan menimbulkan penyesalan dan kehampaan batin.
Biaya untuk "jasa" dukun atau praktisi "ilmu pelet" seringkali sangat mahal, yang dapat menguras harta. Selain itu, kecemasan, rasa bersalah, paranoia, dan ketakutan akan terbongkarnya perbuatan ini dapat menyebabkan masalah kesehatan mental yang serius, seperti depresi, stres berat, atau bahkan gangguan jiwa.
Jika praktik ini diketahui oleh masyarakat, pelaku akan kehilangan kehormatan dan dijauhi. "Ilmu pelet" dapat memicu konflik antar keluarga, permusuhan, dan merusak tatanan sosial yang harmonis. Ini adalah salah satu bentuk kerusakan besar di muka bumi yang disebutkan dalam Al-Quran.
Ini adalah konsekuensi paling fatal. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, praktik "ilmu pelet" seringkali melibatkan syirik, yaitu menyekutukan Allah. Syirik adalah dosa terbesar dalam Islam yang tidak diampuni jika pelakunya meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa: 116)
Meninggal dalam keadaan syirik berarti neraka Jahanam adalah tempat kembalinya, dan tidak ada harapan untuk masuk surga.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan!” Para sahabat bertanya, “Apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita mukminah yang suci berzina.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Sihir secara eksplisit disebutkan sebagai salah satu dari dosa-dosa paling mematikan yang dapat menghancurkan kehidupan akhirat seseorang.
Orang yang melakukan sihir dan syirik akan mendapatkan azab yang pedih di akhirat. Mereka akan merasakan kepedihan dan penyesalan yang tiada akhir atas perbuatan mereka di dunia yang mengorbankan iman demi nafsu sesaat.
وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ “Dan tidak akan menang (beruntung) tukang sihir itu, dari mana pun ia datang.” (QS. Taha: 69)
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada keberuntungan bagi tukang sihir, baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan demikian, "ilmu pelet" bukanlah solusi, melainkan awal dari berbagai masalah dan malapetaka. Ia adalah jalan yang merusak iman, merendahkan martabat, dan mengundang azab Allah. Seorang Muslim yang bijak akan senantiasa mencari solusi dari setiap masalah, termasuk masalah cinta, hanya melalui jalan yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ilustrasi tangan yang sedang berdoa dengan khusyuk, melambangkan tawakal dan harapan kepada Allah.
Dalam menghadapi segala cobaan hidup, termasuk urusan hati dan pencarian pasangan, seorang Muslim sejati akan selalu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dialah Yang Maha Mengatur segala urusan, Maha Membolak-balikkan hati, dan Maha Pemberi rezeki, termasuk rezeki berupa pasangan hidup. Konsep "ilmu pelet dalam Al-Quran" dalam arti sihir atau manipulasi adalah tidak ada dan bertentangan sepenuhnya dengan ajaran Islam. Sebaliknya, Al-Quran mengajarkan kita untuk bergantung sepenuhnya kepada Allah dan menempuh jalan yang halal.
Hati manusia sepenuhnya berada dalam genggaman Allah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sering berdoa:
“Ya Muqallibal qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinik (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”
(HR. Tirmidzi)
Jika kita ingin hati seseorang terpikat, maka mohonlah kepada pemilik hati tersebut, yaitu Allah. Mengapa harus mencari bantuan kepada makhluk yang lemah seperti jin atau manusia yang memiliki keterbatasan, padahal ada Yang Maha Kuasa? Keyakinan inilah yang seharusnya menjadi pegangan setiap Muslim.
Tawakkal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan melakukan usaha maksimal (ikhtiar) sesuai syariat, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah dengan penuh keyakinan. Ketika seseorang bertawakkal, ia akan merasa tenang, tidak cemas, dan tidak mudah putus asa.
Rasa tawakkal ini akan mencegah seseorang untuk mencari jalan pintas yang haram seperti "ilmu pelet". Ia akan meyakini bahwa apa pun takdir yang Allah tetapkan baginya adalah yang terbaik. Jika jodohnya belum datang, itu karena Allah belum menghendaki atau ada hikmah di baliknya. Jika ia telah berusaha dan berdoa, namun belum mendapatkan yang diinginkan, ia akan bersabar dan terus berharap pada rahmat Allah.
Al-Quran penuh dengan kisah-kisah yang mengajarkan kita tentang pentingnya tawakkal dan kesabaran dalam menghadapi ujian, termasuk ujian cinta dan keluarga:
Dari kisah-kisah ini, kita belajar bahwa jalan kebaikan selalu berliku, namun dengan kesabaran, doa, dan tawakkal, pertolongan Allah pasti akan datang.
Setelah menelusuri berbagai aspek mengenai "ilmu pelet" dalam perspektif Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah, sangat jelas bahwa konsep "ilmu pelet dalam Al-Quran" yang bermakna sihir atau manipulasi adalah sebuah kekeliruan besar dan bertentangan sepenuhnya dengan ajaran Islam. Al-Quran tidak pernah mengajarkan atau membenarkan praktik-praktik sihir, guna-guna, atau segala bentuk syirik yang bertujuan untuk memaksakan kehendak atau memanipulasi hati seseorang.
Sebaliknya, Al-Quran adalah kitab petunjuk yang membimbing manusia menuju jalan yang lurus, menjauhi kesesatan, dan mengajarkan prinsip-prinsip mulia dalam mencari dan membangun cinta sejati yang berkah. Cinta dalam Islam adalah anugerah Ilahi yang tumbuh dari ketakwaan, akhlak mulia, doa, dan usaha yang halal. Ia berlandaskan pada sakinah, mawaddah, dan rahmah, bukan paksaan atau tipuan.
Menggunakan "ilmu pelet" adalah dosa syirik yang tak terampuni jika tidak bertaubat, serta membawa konsekuensi buruk baik di dunia (kerusakan hubungan, ketergantungan pada setan, kehancuran mental dan sosial) maupun di akhirat (azab yang pedih). Oleh karena itu, setiap Muslim wajib menjauhi praktik ini dan tidak tergoda oleh janji-janji palsu yang ditawarkannya.
Marilah kita kembali kepada ajaran Islam yang murni. Apabila hati kita terpaut pada seseorang, atau kita mendambakan hadirnya pasangan hidup, maka tempuhlah jalan yang diridhai Allah:
Cinta sejati adalah anugerah dari Allah yang akan tumbuh subur dalam ikatan yang halal dan diberkahi. Ia adalah bekal untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, yang menjadi surga dunia dan jembatan menuju surga abadi di akhirat. Semoga Allah senantiasa membimbing kita di jalan yang lurus dan menganugerahi kita cinta yang hakiki dan berkah.