Dalam khazanah budaya Nusantara yang kaya, setiap etnis memiliki warisan spiritual dan kepercayaan yang unik, membentuk identitas serta cara pandang mereka terhadap alam semesta dan kehidupan. Minangkabau, dengan adat dan filosofinya yang mendalam, tidak terkecuali. Salah satu aspek yang sering menjadi perbincangan, dan kadang diselimuti misteri, adalah apa yang dikenal sebagai "ilmu pelet". Istilah ini, yang di berbagai daerah lain mungkin memiliki sebutan berbeda, merujuk pada praktik supranatural yang dipercaya dapat mempengaruhi perasaan, pikiran, dan kehendak seseorang, khususnya dalam urusan asmara atau daya tarik sosial.
Artikel ini bertujuan untuk mengupas tuntas ilmu pelet Minangkabau, bukan dari sudut pandang promosi atau instruksi praktik, melainkan sebagai sebuah fenomena budaya yang menarik untuk dipahami. Kita akan menyelami konteks sosial dan sejarahnya, mengidentifikasi jenis-jenisnya, memahami filosofi di baliknya, serta menimbang dimensi etis dan risiko yang melekat. Melalui penelusuran ini, diharapkan kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dan nuansa yang lebih kaya tentang salah satu warisan tak benda masyarakat Minangkabau, membedakan antara mitos yang berkembang dengan realitas budayanya.
1. Memahami Konteks Minangkabau: Adat, Falsafah, dan Matrilinial
Untuk memahami ilmu pelet Minangkabau, kita harus terlebih dahulu menempatkannya dalam kerangka budaya Minangkabau itu sendiri. Minangkabau adalah salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia yang memiliki sistem adat yang sangat kuat dan unik, yang dikenal dengan filosofi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" (Adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah/Al-Qur'an). Filosofi ini menegaskan bahwa seluruh tatanan adat dan kehidupan masyarakat Minangkabau harus sejalan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Selain itu, sistem kekerabatan Minangkabau adalah matrilinial, di mana garis keturunan dihitung dari pihak ibu. Perempuan memegang peranan sentral dalam struktur sosial dan kepemilikan harta pusaka. Rumah Gadang, simbol fisik kebudayaan Minangkabau, adalah milik kaum perempuan, dan gelar-gelar adat diwariskan melalui garis ibu. Sistem ini membentuk dinamika sosial yang berbeda, di mana harmoni dan keseimbangan dalam hubungan antarindividu, terutama antara laki-laki dan perempuan, sangat dihargai.
Dalam konteks inilah, kebutuhan akan "pengasihan" atau "daya tarik" dapat muncul. Bukan hanya untuk tujuan asmara semata, melainkan juga untuk memperlancar komunikasi, negosiasi dalam masalah adat, atau membangun wibawa dalam interaksi sosial. Dalam masyarakat yang sangat menjunjung tinggi etika dan sopan santun, kemampuan untuk disenangi dan diterima oleh orang lain menjadi aset sosial yang berharga. Beberapa praktik pelet, pada awalnya, mungkin berkembang dari keinginan untuk mencapai harmoni sosial ini, meski kemudian bergeser atau disalahgunakan untuk tujuan yang lebih personal dan manipulatif.
"Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" bukanlah sekadar slogan, melainkan fondasi kokoh yang mengatur seluruh aspek kehidupan Minangkabau, termasuk pandangan mereka terhadap alam gaib dan praktik-praktik supranatural.
2. Apa Itu Ilmu Pelet Minangkabau? Definisi dan Persepsi
Istilah "ilmu pelet" seringkali membawa konotasi negatif, diidentikkan dengan praktik ilmu hitam yang memaksa kehendak seseorang. Namun, dalam tradisi Minangkabau, spektrum maknanya bisa lebih luas dan bernuansa. Pada dasarnya, ilmu pelet Minangkabau adalah sebuah bentuk ilmu supranatural atau metafisika yang diyakini memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perasaan atau pikiran orang lain. Fokus utamanya seringkali adalah menumbuhkan rasa cinta, kasih sayang, simpati, atau bahkan kepatuhan dari target.
2.1. Spektrum Pengertian: Dari Pengasihan hingga Pemaksaan Kehendak
Penting untuk membedakan antara beberapa kategori praktik yang seringkali disamaratakan sebagai "pelet":
- Ilmu Pengasihan Umum (Pembuka Aura): Ini adalah praktik yang bertujuan untuk meningkatkan karisma, daya tarik pribadi, dan simpati dari lingkungan sekitar secara umum. Tidak ada target spesifik, dan efeknya bersifat alami, membuat seseorang lebih disenangi dalam pergaulan, pekerjaan, atau bisnis. Ini sering dianggap sebagai bagian dari kearifan lokal untuk menjaga harmoni sosial dan personal.
- Ilmu Pelet Asmara (Cinta): Kategori ini yang paling dikenal dan paling sering disalahpahami. Tujuannya adalah menumbuhkan perasaan cinta atau birahi pada target yang spesifik. Dalam praktiknya, ada yang dilakukan dengan niat baik (misalnya, agar seseorang yang dicintai membalas perasaan), namun banyak juga yang disalahgunakan untuk tujuan manipulatif atau paksaan.
- Ilmu Pelet Penunduk/Pengeretan: Ini adalah praktik yang lebih agresif, bertujuan untuk membuat target tunduk, patuh, atau menuruti keinginan pelaku, seringkali untuk keuntungan materi atau kekuasaan. Praktik semacam ini jelas menyimpang dari nilai-nilai etika dan agama.
Persepsi publik terhadap ilmu pelet sangat bervariasi. Di satu sisi, ada yang melihatnya sebagai bagian tak terpisahkan dari warisan budaya yang mengandung kearifan (terutama pengasihan umum), di sisi lain, mayoritas masyarakat, terutama yang berpegang teguh pada ajaran agama, memandangnya sebagai tindakan syirik, dosa besar, dan pelanggaran etika karena merampas kebebasan kehendak seseorang.
2.2. Peran Kepercayaan dan Sugesti
Apapun bentuknya, efektivitas ilmu pelet sangat bergantung pada kepercayaan, baik dari praktisi maupun target (secara tidak langsung). Aspek sugesti, baik autosugesti pada pelaku maupun sugesti yang ditanamkan pada lingkungan target, memainkan peran psikologis yang signifikan. Dalam banyak kasus, cerita-cerita tentang keberhasilan pelet seringkali menjadi bagian dari folklore yang memperkuat keyakinan akan eksistensinya, bahkan jika mekanisme di baliknya adalah psikologis atau kebetulan.
3. Akar Sejarah dan Perkembangan Ilmu Pelet Minangkabau
Sejarah Minangkabau adalah sejarah panjang perpaduan budaya dan kepercayaan. Praktik-praktik supranatural, termasuk yang mirip dengan ilmu pelet, telah ada jauh sebelum masuknya Islam, berakar pada kepercayaan animisme dan dinamisme kuno yang meyakini adanya roh penunggu dan kekuatan alam semesta. Pengaruh Hindu-Buddha yang masuk ke Nusantara juga membawa konsep-konsep mantra, yantra, dan ritual yang dapat berinteraksi dengan dunia gaib.
3.1. Dari Animisme ke Sinkretisme Islam
Ketika Islam masuk dan berkembang pesat di Minangkabau, terjadi proses sinkretisme. Ajaran Islam yang monoteistik berinteraksi dengan kepercayaan lokal. Beberapa praktik lama diadaptasi dan diwarnai dengan unsur-unsur Islam (misalnya, menggunakan ayat Al-Qur'an, doa, atau asmaul husna dalam mantra), sementara yang lain ditolak atau disisihkan. Namun, beberapa keyakinan tentang kekuatan gaib dan cara memanfaatkannya tetap bertahan, seringkali bersembunyi di balik terminologi atau praktik yang lebih "halus" agar tidak bertentangan langsung dengan syariat.
Perkembangan ilmu pelet ini juga erat kaitannya dengan peran urang pandai atau dukun/pawang dalam masyarakat adat. Mereka adalah individu yang dianggap memiliki pengetahuan khusus tentang alam gaib, tumbuh-tumbuhan berkhasiat, dan ritual-ritual tertentu. Pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun, seringkali dalam bentuk rahasia yang hanya diungkapkan kepada murid atau anggota keluarga terpilih.
3.2. Mantra, Ritual, dan Media
Mantra-mantra pelet Minangkabau sering disebut "kato pusako" (kata pusaka) atau "jampi-jampi". Kata-kata ini diyakini memiliki kekuatan magis atau energi tertentu bila diucapkan dengan niat dan cara yang benar. Isinya bisa bervariasi, mulai dari seruan kepada roh leluhur, permintaan kepada kekuatan alam, hingga penggunaan nama-nama tertentu yang dianggap bertuah. Beberapa mantra juga memadukan bahasa Minang dengan bahasa Arab atau Jawa kuno, menunjukkan jejak akulturasi.
Selain mantra, ritual juga menjadi bagian integral. Ini bisa berupa puasa tertentu, shalat hajat, membaca wirid dalam jumlah tertentu, atau melakukan tirakat di tempat-tempat keramat. Media yang digunakan pun beragam, seperti foto, pakaian, rambut, air minum, makanan, atau benda-benda pribadi target. Bahkan ada yang menggunakan media yang lebih simbolis seperti kembang tujuh rupa, kemenyan, atau benda-benda yang diasosiasikan dengan "daya tarik" seperti emas atau permata.
4. Jenis-Jenis Pelet dalam Tradisi Minangkabau
Meskipun istilah "pelet" seringkali digeneralisasi, dalam tradisi Minangkabau yang lebih spesifik, ada beberapa jenis atau kategori yang dikenal, masing-masing dengan tujuan dan metode yang sedikit berbeda. Penting untuk diingat bahwa deskripsi ini bersifat informatif dan tidak dimaksudkan untuk mengajarkan praktik tersebut.
4.1. Pelet Asmara (Pangasi Pambao Kasiah)
Ini adalah jenis pelet yang paling umum dan paling banyak dicari. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian lawan jenis, menumbuhkan rasa cinta, kerinduan, atau bahkan obsesi pada target. Beberapa varian yang dikenal:
- Pelet Tatapan Mata: Dipercaya bisa bekerja hanya dengan pandangan mata yang khusus dan diiringi mantra.
- Pelet Sentuhan: Membutuhkan kontak fisik langsung atau tidak langsung (misalnya melalui jabat tangan atau sentuhan pada benda yang dipakai target).
- Pelet Melalui Makanan/Minuman: Target diyakini akan terpengaruh setelah mengonsumsi makanan atau minuman yang telah diisi "energi" atau "mantra" oleh pelaku.
- Pelet Jarak Jauh (Tuju): Diklaim dapat bekerja dari jarak jauh tanpa kontak fisik langsung, seringkali menggunakan media foto, nama, atau bahkan membayangkan wajah target. Ini sering melibatkan ritual yang lebih intens.
Setiap varian ini mungkin memiliki mantra, ritual, dan pantangan spesifiknya sendiri yang harus ditaati oleh pelaku agar berhasil.
4.2. Pelet Pengasihan Umum (Pangasi Diri)
Berbeda dengan pelet asmara yang menargetkan individu, pelet pengasihan umum bertujuan untuk meningkatkan daya tarik pribadi, karisma, dan simpati dari khalayak ramai. Efeknya tidak memaksa cinta spesifik, melainkan membuat seseorang disenangi, dihormati, dan dipercaya dalam pergaulan, pekerjaan, atau bisnis. Contohnya:
- Pangasi untuak Dagang/Usaha: Agar dagangan laris atau usaha lancar, menarik pelanggan.
- Pangasi untuak Pimpinan/Umum: Agar dihormati atasan, disegani bawahan, atau diyakini oleh masyarakat dalam konteks kepemimpinan.
- Pangasi untuak Pergaulan: Agar mudah beradaptasi, memiliki banyak teman, dan disenangi dalam interaksi sosial.
Praktik ini seringkali melibatkan ritual yang lebih "ringan" dan bertujuan positif, seperti mandi bunga, menggunakan parfum khusus, atau membaca doa-doa tertentu yang diyakini membuka aura positif.
4.3. Pelet Penunduk (Panunduak)
Jenis ini memiliki tujuan yang lebih dominatif, yaitu untuk menundukkan atau mempengaruhi kehendak orang lain agar mengikuti keinginan pelaku. Seringkali dikaitkan dengan tujuan kekuasaan, kemenangan dalam persidangan, atau memperoleh keuntungan dari pihak tertentu. Ini adalah jenis yang paling dekat dengan konotasi ilmu hitam karena secara eksplisit mencoba mengendalikan kehendak bebas seseorang. Contohnya adalah agar lawan bicara menurut, atau agar musuh kehilangan keberanian.
5. Filosofi di Balik Kepercayaan Pelet
Di balik praktik ilmu pelet, terdapat beberapa lapisan filosofis dan kepercayaan yang membentuk keyakinan akan kemampuannya. Ini bukan sekadar "sihir" tanpa dasar, melainkan terhubung dengan pandangan dunia masyarakat tradisional Minangkabau.
5.1. Kekuatan Niat dan Kata-kata (Kato Pusako)
Masyarakat Minangkabau sangat menghargai kekuatan kata-kata. Dalam adat, "kato nan ampek" (empat jenis kata) memiliki aturan dan dampak sosial yang kuat. Dalam konteks spiritual, kata-kata yang diucapkan dengan niat kuat, fokus, dan melalui ritual tertentu, diyakini memiliki energi vibrasi yang dapat memengaruhi realitas. Mantra atau "kato pusako" tidak hanya dianggap sebagai rangkaian bunyi, melainkan sebagai wadah niat yang diperkuat oleh energi spiritual.
Niat (niat) adalah kunci. Tanpa niat yang kuat dan fokus, mantra atau ritual dianggap tidak akan memiliki kekuatan. Ini mencerminkan pemahaman bahwa energi pikiran dan hati adalah pendorong utama di balik setiap tindakan, baik di alam nyata maupun gaib.
5.2. Energi Alam dan Alam Bawah Sadar
Kepercayaan pada energi alam semesta (seperti energi dari bulan, bintang, air, atau elemen bumi) adalah bagian dari kosmologi tradisional. Praktisi pelet seringkali mencari "waktu yang tepat" (misalnya, saat bulan purnama atau tengah malam) untuk melakukan ritual, karena diyakini pada saat itu energi alam sedang kuat dan mudah diakses.
Dari sudut pandang modern, beberapa efek pelet bisa dijelaskan melalui konsep alam bawah sadar dan sugesti. Jika seseorang secara konsisten menargetkan orang lain dengan niat kuat dan ritual, ia mungkin tanpa sadar memancarkan sinyal-sinyal non-verbal yang mempengaruhi interaksi. Ditambah dengan rumor atau cerita yang beredar, target mungkin secara psikologis terpengaruh dan secara tidak sadar merespons sugesti tersebut.
5.3. Konsep Tuah dan Karamaik
Dalam kepercayaan Minangkabau, ada konsep "tuah" (khasiat atau keberuntungan) dan "karamaik" (kemuliaan atau berkah ilahi, sering dikaitkan dengan orang suci atau tempat keramat). Benda-benda atau lokasi tertentu diyakini memiliki tuah, sementara orang-orang tertentu diyakini memiliki karamaik. Beberapa ilmu pelet diyakini mendapatkan kekuatannya dari memohon tuah dari benda pusaka, atau meminta karamaik dari leluhur atau orang suci tertentu.
Praktik puasa atau tirakat juga memiliki filosofi tersendiri. Selain melatih fokus dan spiritualitas, puasa diyakini dapat "mengosongkan" diri dari hal-hal duniawi, sehingga memungkinkan tubuh dan jiwa menjadi saluran yang lebih murni untuk energi spiritual.
6. Dimensi Etis dan Risiko Ilmu Pelet
Meskipun ada spektrum yang luas dalam pengertian ilmu pelet, dari pengasihan umum yang relatif "netral" hingga pemaksaan kehendak, dimensi etis adalah aspek yang paling krusial. Sebagian besar ajaran agama dan etika universal akan menganggap praktik pelet yang bersifat manipulatif sebagai tindakan yang salah dan merugikan.
6.1. Pelanggaran Kebebasan Kehendak
Inti dari masalah etika pada pelet adalah pelanggaran terhadap kebebasan kehendak individu. Setiap orang berhak menentukan pilihan hidup, termasuk dalam urusan cinta dan hubungan. Ketika seseorang menggunakan pelet untuk memaksakan perasaan atau kehendak pada orang lain, ia secara fundamental telah merampas hak asasi orang tersebut. Hubungan yang terbangun di atas dasar paksaan atau manipulasi tidak akan pernah sehat dan sejati.
6.2. Konsekuensi Hukum Adat dan Agama
Dalam konteks Minangkabau, meskipun beberapa praktik pelet mungkin memiliki akar tradisional, "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" secara tegas menentang segala bentuk praktik yang mengarah pada syirik (menyekutukan Tuhan) dan zalim (aniaya). Menggunakan ilmu pelet untuk memaksakan kehendak atau menyakiti orang lain adalah tindakan zalim dan syirik dalam pandangan Islam, yang merupakan pedoman utama adat Minangkabau.
Bagi pelaku, diyakini akan ada konsekuensi karma atau balasan dari alam semesta. Hubungan yang dimulai dengan pelet seringkali berakhir tragis, membawa penderitaan, atau bahkan menurunnya kualitas hidup pelaku dan keturunannya. Ini adalah bentuk keyakinan tentang hukum sebab-akibat yang berlaku di alam gaib.
6.3. Dampak Negatif pada Pelaku dan Korban
- Pada Korban: Korban pelet bisa mengalami kebingungan emosional, depresi, kehilangan jati diri, atau bahkan gangguan mental. Mereka mungkin merasa tidak berdaya, terikat pada seseorang yang sebenarnya tidak mereka cintai, dan kesulitan untuk melepaskan diri.
- Pada Pelaku: Pelaku pelet mungkin merasakan kemenangan sesaat, tetapi seringkali dibayangi oleh rasa bersalah, ketakutan akan balasan, dan ketidaknyamanan batin. Hubungan yang dibangun dari paksaan tidak akan pernah membawa kebahagiaan sejati. Selain itu, praktik semacam ini seringkali menuntut "tumbal" atau "pantangan" yang berat, yang bisa berujung pada penderitaan pribadi atau keluarga pelaku.
7. Sudut Pandang Modern dan Ilmu Pengetahuan
Di era modern ini, di mana ilmu pengetahuan dan rasionalitas semakin dominan, bagaimana ilmu pelet Minangkabau dipandang?
7.1. Penjelasan Psikologis dan Sosiologis
Dari sudut pandang psikologi, fenomena yang dikaitkan dengan pelet seringkali dapat dijelaskan melalui sugesti, plasebo, dan efek Hawthorne. Seseorang yang sangat percaya pada kekuatan pelet mungkin secara tidak sadar mengubah perilakunya, menjadi lebih percaya diri, atau memancarkan aura yang berbeda, yang kemudian menarik perhatian orang lain. Demikian pula, jika target mendengar rumor atau sugesti bahwa ia "terkena pelet", alam bawah sadarnya mungkin merespons dengan menciptakan perasaan-perasaan tertentu.
Secara sosiologis, ilmu pelet bisa dilihat sebagai mekanisme kontrol sosial atau upaya untuk mengatasi ketidakpastian dalam hubungan sosial. Dalam masyarakat tradisional yang memiliki struktur dan norma yang ketat, pelet mungkin menjadi jalan pintas bagi individu yang merasa tidak mampu mencapai keinginannya melalui cara-cara konvensional, misalnya karena perbedaan status sosial, kasta, atau restu orang tua.
7.2. Skeptisisme dan Keterbatasan Sains
Ilmu pengetahuan modern cenderung bersifat empiris dan dapat diukur. Oleh karena itu, klaim tentang kekuatan pelet seringkali sulit diverifikasi secara ilmiah. Metode dan efeknya berada di luar ranah yang dapat dijelaskan oleh fisika, kimia, atau biologi konvensional. Para skeptis akan melihatnya sebagai takhayul atau efek psikologis semata.
Namun, penting untuk diingat bahwa keterbatasan sains dalam menjelaskan fenomena tertentu tidak serta merta meniadakan eksistensinya dalam kerangka kepercayaan masyarakat. Bagi banyak orang di Minangkabau, terutama di pedesaan atau komunitas adat yang kuat, ilmu pelet adalah bagian dari realitas spiritual yang mereka alami dan yakini.
8. Perbandingan dengan Tradisi Lain di Nusantara
Praktik yang mirip dengan ilmu pelet tidak hanya ditemukan di Minangkabau, tetapi juga tersebar luas di berbagai kebudayaan di Nusantara dengan nama dan karakteristik yang berbeda:
- Jawa: Dikenal dengan sebutan "ajian pengasihan" atau "ajian puter giling" yang sering menggunakan mantra Jawa kuno dan tirakat khusus.
- Sunda: Memiliki "pelet semar mesem" atau "jangjawokan" untuk menarik hati.
- Bali: Terdapat praktik "leak pengiwa" yang juga bisa digunakan untuk tujuan pengasihan, meskipun lebih sering dikaitkan dengan ilmu hitam.
- Kalimantan: Ada "ilmu pengasih" dari suku Dayak yang menggunakan media tertentu seperti bulu perindu atau minyak pelet.
Meskipun ada perbedaan dalam mantra, ritual, dan medianya, benang merah yang menghubungkan semua praktik ini adalah keyakinan akan kemampuan untuk mempengaruhi kehendak orang lain melalui kekuatan supranatural. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan pandangan dunia masyarakat Nusantara tentang keberadaan alam gaib dan interaksinya dengan kehidupan manusia.
9. Menjaga Warisan Budaya Tanpa Melanggar Etika
Sebagai bagian dari warisan tak benda, ilmu pelet Minangkabau—terutama aspek pengasihan umum yang harmonis—perlu dilihat sebagai cerminan kekayaan spiritual dan kearifan lokal. Tantangannya adalah bagaimana menjaga dan memahami warisan ini tanpa terjebak dalam praktik yang melanggar etika dan agama.
9.1. Edukasi dan Dokumentasi
Penting untuk melakukan edukasi kepada masyarakat, terutama generasi muda, tentang perbedaan antara kearifan lokal yang bersifat positif (seperti doa untuk keberkahan, pembuka aura positif) dengan praktik pelet manipulatif yang merusak. Dokumentasi terhadap mantra-mantra lama, kisah-kisah tradisional, dan filosofi di baliknya dapat dilakukan sebagai upaya pelestarian budaya, namun dengan catatan keras mengenai dimensi etisnya.
Sejarah, konteks sosial, dan evolusi kepercayaan ini perlu dipelajari dari sudut pandang antropologi dan sosiologi, untuk memahami bagaimana dan mengapa keyakinan ini terbentuk serta bertahan di masyarakat.
9.2. Kembali pada Nilai-nilai Luhur Minangkabau
Daripada mengandalkan praktik yang meragukan secara etis, masyarakat Minangkabau dapat kembali menekankan nilai-nilai luhur yang sudah ada dalam adat dan agama mereka: kasih sayang tulus, kejujuran, saling menghargai, kesabaran, dan ikhtiar. Cinta sejati dan hubungan yang sehat dibangun atas dasar kepercayaan, komunikasi yang baik, dan rasa hormat terhadap kebebasan pasangan, bukan dari paksaan gaib.
Fokus pada pengembangan diri, meningkatkan kualitas pribadi, dan menjalin hubungan yang baik dengan sesama secara alami akan menciptakan daya tarik dan pengasihan yang jauh lebih otentik dan langgeng daripada hasil praktik pelet.
"Kato nan sabana bana, dek di Allah dibari bana" (Kata-kata yang benar, karena Allah memberi kebenaran). Ini adalah pengingat bahwa kekuatan sejati berasal dari kebenaran dan ketuhanan, bukan dari manipulasi.
Kesimpulan: Antara Mitos, Budaya, dan Kearifan
Ilmu pelet Minangkabau adalah fenomena kompleks yang berdiri di persimpangan antara mitos, budaya, sejarah, dan realitas sosial. Ia mencerminkan pandangan dunia masyarakat Minangkabau yang kaya akan kepercayaan pada alam gaib dan kekuatan spiritual.
Dari pengasihan umum yang berupaya menciptakan harmoni sosial hingga praktik pemaksaan kehendak yang melanggar etika, spektrum ilmu pelet ini menunjukkan sisi terang dan gelap dari kekuatan tak terlihat. Meskipun secara ilmiah sulit dijelaskan, keberadaannya dalam folklore dan keyakinan masyarakat Minangkabau tidak dapat diabaikan.
Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah", sudah sewajarnya kita melihat ilmu pelet dari kacamata etika dan agama. Praktik yang merampas kebebasan kehendak seseorang dan menimbulkan kemudaratan adalah tindakan yang harus dihindari dan ditolak. Namun, memahami latar belakang historis dan filosofisnya adalah bagian dari pelestarian warisan budaya yang bertanggung jawab.
Pada akhirnya, daya tarik sejati, kasih sayang yang tulus, dan hubungan yang langgeng akan selalu berakar pada kejujuran, rasa hormat, dan cinta yang datang dari hati yang bersih, bukan dari mantra atau praktik yang memanipulasi. Kearifan Minangkabau sesungguhnya mengajarkan kita untuk mencari kebahagiaan dan harmoni melalui jalan yang benar, sesuai dengan adat dan syariat, serta dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.