Dalam pencarian akan makna kehidupan yang hakiki, manusia seringkali menemukan dirinya berhadapan dengan berbagai konsep yang kompleks, salah satunya adalah 'pengasihan'. Kata ini, dalam konteks umum masyarakat, bisa memiliki berbagai konotasi, mulai dari daya tarik personal, pesona, hingga praktik-praktik spiritual tertentu yang bertujuan untuk memikat hati orang lain. Namun, ketika kita menelisik 'ilmu pengasihan' ini ke dalam bingkai ajaran Islam, khususnya Al-Qur'an, kita akan menemukan sebuah dimensi yang jauh lebih luhur, universal, dan berlandaskan pada prinsip-prinsip ketuhanan yang murni. Ini bukan tentang manipulasi atau memaksakan kehendak, melainkan tentang membangun fondasi karakter yang mulia, menebarkan kebaikan, dan memancarkan aura positif yang bersumber dari ketakwaan kepada Allah SWT.
Artikel ini akan mengupas tuntas tentang bagaimana Al-Qur'an mengajarkan konsep 'pengasihan' yang sebenarnya. Kita akan menelusuri akar kata, prinsip-prinsip dasarnya, ayat-ayat yang relevan, serta aplikasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya adalah untuk memahami bahwa 'ilmu pengasihan dalam Al-Qur'an' bukanlah praktik mistis atau sihir, melainkan sebuah jalan hidup yang menuntun pada pembentukan pribadi yang dicintai oleh Allah, sesama manusia, dan seluruh makhluk. Ini adalah manifestasi dari nama-nama Allah SWT yang indah, seperti Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), yang seharusnya menjadi teladan bagi setiap Muslim.
Mari kita bersama-sama menyelami lautan hikmah Al-Qur'an untuk menemukan rahasia 'pengasihan' yang sejati, yang membawa kedamaian hati, keharmonisan sosial, dan kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat.
Kata 'pengasihan' secara etimologi berasal dari kata dasar 'kasih'. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kasih diartikan sebagai perasaan sayang, cinta, atau belas kasihan. Ketika kita menambahkan imbuhan 'peng-' dan '-an', ia merujuk pada suatu cara, proses, atau ilmu untuk menumbuhkan atau mendapatkan kasih sayang. Namun, sebagaimana disebutkan di awal, interpretasi kata ini seringkali melenceng dari makna aslinya, terutama ketika dikaitkan dengan praktik-praktik yang berbau takhayul atau sihir.
Penting sekali untuk membedakan antara 'pengasihan' yang diajarkan Islam dan 'pengasihan' yang umum dipahami sebagai praktik perdukunan atau sihir. Islam dengan tegas melarang segala bentuk sihir, jimat, pelet, dan praktik-praktik lain yang melibatkan persekutuan dengan jin atau kekuatan selain Allah. Praktik-praktik semacam ini termasuk kategori syirik, dosa besar yang tidak terampuni jika pelakunya meninggal dunia tanpa bertaubat, karena ia menyekutukan Allah SWT dalam kekuasaan-Nya untuk menggerakkan hati manusia.
Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sangat jelas dalam hal ini. Seorang Muslim dilarang keras untuk mencari pertolongan dari dukun, peramal, atau siapa pun yang mengklaim memiliki kemampuan supranatural untuk memanipulasi perasaan orang lain. Segala daya upaya yang menggunakan mantra-mantra tidak islami, benda-benda keramat, atau ritual-ritual tertentu untuk memikat hati seseorang adalah haram dan bertentangan dengan tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan Allah SWT.
وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ
"Wa mā unzila ‘alal malakaini bi Bābila Hārūta wa Mārūt. Wa mā yu‘allimāni min aḥadin ḥattā yaqūlā innamā naḥnu fitnatun falā takfur."
"Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di Babil, yaitu Harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, 'Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu menjadi kafir'." (QS. Al-Baqarah [2]: 102)
Ayat ini menunjukkan bahwa bahkan ilmu sihir yang diturunkan kepada Harut dan Marut pun merupakan ujian, dan peringatan keras diberikan agar manusia tidak terjerumus dalam kekafiran karena menggunakannya. Ini adalah bukti tegas bahwa 'pengasihan' dalam bentuk sihir adalah jalan yang sesat.
Sebaliknya, 'pengasihan dalam Al-Qur'an' adalah konsep yang menyeluruh tentang bagaimana seorang mukmin dapat menjadi pribadi yang dicintai dan mencintai, yang menarik simpati dan kasih sayang dari sesama, bukan melalui paksaan atau tipu daya, melainkan melalui kebaikan hati, akhlak mulia, dan ketulusan niat. Ini adalah hasil dari ketaatan kepada Allah dan mengikuti sunnah Rasul-Nya, yang secara alami akan memancarkan cahaya positif dari dalam diri.
Inti dari 'pengasihan' dalam Islam adalah pemahaman bahwa kasih sayang sejati berasal dari Allah SWT. Allah adalah sumber segala cinta dan kasih sayang. Dua nama-Nya yang paling sering disebut adalah Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang). Ini adalah atribut-Nya yang mencakup seluruh alam semesta, dan Dia mewarisi sifat ini kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۚ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
"Wa raḥmatī wasi‘at kulla shay'. Fasa ak'tubuhā lil-ladhīna yattaqūna wa yu'tūnaz-zakāta wal-ladhīna hum bi āyātinā yu'minūn."
"Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku itu bagi orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami." (QS. Al-A'raf [7]: 156)
Ayat ini menegaskan betapa luasnya rahmat Allah. Seorang hamba yang ingin mendapatkan 'pengasihan' yang hakiki harus terlebih dahulu mencari rahmat dan cinta Allah. Dengan mendekatkan diri kepada-Nya melalui ketaatan, ibadah, dan akhlak mulia, Allah akan menanamkan cinta kepada hamba-Nya di hati makhluk lain. Ini adalah bentuk 'pengasihan' yang paling tinggi, yang tidak dapat dibeli atau dimanipulasi.
Jika 'ilmu pengasihan' adalah tentang menjadi pribadi yang dicintai dan membawa cinta, maka Al-Qur'an menawarkan serangkaian pilar yang kokoh untuk membangun fondasi tersebut. Ini adalah 'ilmu' dalam arti pengetahuan dan praktik yang membutuhkan pembelajaran, kesabaran, dan konsistensi.
Tidak ada 'pengasihan' yang lebih efektif dan langgeng selain akhlak yang mulia. Akhlak adalah cerminan batin seseorang, dan ia adalah magnet yang menarik hati. Nabi Muhammad SAW, teladan terbaik bagi umat manusia, diutus untuk menyempurnakan akhlak. Allah SWT bahkan memuji akhlak beliau sebagai "akhlaqun azhim" (akhlak yang agung).
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
"Wa innaka la'alā khuluqin ‘aẓīm."
"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam [68]: 4)
Mengikuti jejak Nabi dalam membangun akhlak adalah kunci 'pengasihan' ilahiah. Ini mencakup berbagai aspek:
Jujur dalam perkataan dan perbuatan, serta menjaga amanah adalah sifat yang sangat dihargai dalam Islam. Orang yang jujur akan dipercaya, dan kepercayaan adalah dasar dari segala bentuk hubungan yang sehat. Kepercayaan menumbuhkan rasa hormat dan kasih sayang. Tanpa kejujuran, setiap bentuk 'pengasihan' hanyalah topeng yang rapuh.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
"Yā ayyuhal-ladhīna āmanuttaqullāha wa kūnū ma‘aṣ-ṣādiqīn."
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (QS. At-Taubah [9]: 119)
Ayat ini tidak hanya memerintahkan takwa, tetapi juga agar kita berada bersama orang-orang yang jujur (as-shadiqin), mengindikasikan pentingnya sifat ini dalam interaksi sosial dan spiritual. Kejujuran membangun jembatan hati dan membuka pintu-pintu kasih sayang.
Kesombongan adalah sifat yang dibenci oleh Allah dan manusia. Orang yang sombong cenderung menjauhkan diri dari orang lain, sementara orang yang rendah hati akan mudah didekati dan disukai. Kerendahan hati tidak berarti merendahkan diri, melainkan mengakui bahwa segala kelebihan yang dimiliki adalah karunia dari Allah.
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
"Wa lā tamshi fil-arḍi maraḥā; innaka lan takhriqal-arḍa wa lan tablughal-jibāla ṭūlā."
"Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung." (QS. Al-Isra [17]: 37)
Kerendahan hati menjadikan seseorang mudah diterima, membangun jembatan komunikasi, dan menghapuskan dinding-dinding kesalahpahaman yang sering muncul dari ego dan kesombongan. Ini adalah kunci penting dalam menarik 'pengasihan' dari orang lain.
Kemampuan untuk memaafkan kesalahan orang lain adalah salah satu tanda kekuatan batin dan keluasan hati. Dendam dan kebencian hanya akan merusak hubungan dan menciptakan jarak. Dengan memaafkan, seseorang tidak hanya membebaskan orang lain, tetapi juga membebaskan dirinya sendiri dari beban emosional negatif. Sifat pemaaf adalah cerminan dari sifat Ar-Ghaffar (Maha Pengampun) milik Allah.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
"Khudhil-‘afwa wa'mur bil-‘urfi wa a‘riḍ ‘anil-jāhilīn."
"Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‘ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A'raf [7]: 199)
Ayat ini adalah perintah langsung kepada Nabi dan umatnya untuk senantiasa bersikap pemaaf. Memaafkan tidak berarti melupakan, tetapi melepaskan kemarahan dan kebencian, membuka ruang bagi kasih sayang untuk tumbuh kembali. Ini adalah 'pengasihan' yang menyembuhkan.
Perkataan yang baik (qaulan layyinan, qaulan ma'rufan, qaulan kariman) dan perbuatan yang terpuji adalah fondasi 'pengasihan'. Lidah bisa menjadi pisau yang melukai atau madu yang menyejukkan. Menghindari ghibah (menggunjing), fitnah, perkataan kasar, dan janji palsu adalah esensi dari menjaga lisan. Demikian pula, perbuatan yang mencerminkan kebaikan, seperti menolong sesama, berbuat adil, dan tidak merugikan orang lain, akan menarik hati.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا
"Yā ayyuhal-ladhīna āmanujtanibū kathīran minaz-ẓanni inna ba‘ḍaẓ-ẓanni ithmun. Wa lā tajassasū wa lā yaghtab ba‘ḍukum ba‘ḍā."
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, (karena) sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain." (QS. Al-Hujurat [49]: 12)
Ayat ini secara jelas melarang prasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing, karena semua itu merusak hubungan sosial dan memadamkan bara 'pengasihan'. Sebaliknya, menjaga lisan berarti membangun keharmonisan.
Doa adalah senjata ampuh bagi seorang mukmin. Ketika seseorang ingin mendapatkan 'pengasihan' atau memohon agar Allah melembutkan hati seseorang, doa adalah jalan yang paling syar'i dan paling efektif. Bukan dengan mantra-mantra asing, melainkan dengan memanjatkan doa-doa yang tulus kepada Allah, Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
"Wa idhā sa'alaka ‘ibādī ‘annī fa innī qarīb. Ujību da‘watad-dā‘i idhā da‘ānī. Fal-yastajībū lī wal-yu'minū bī la‘allahum yarshudūn."
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran." (QS. Al-Baqarah [2]: 186)
Ayat ini adalah jaminan dari Allah bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-Nya. Penting untuk berdoa dengan keyakinan penuh, ikhlas, dan tanpa keraguan. Doa untuk 'pengasihan' bisa berupa permohonan agar Allah melembutkan hati orang lain terhadap kita, atau agar kita diberi kemampuan untuk dicintai secara wajar dan syar'i.
Jenis doa yang bisa dipanjatkan meliputi:
Keikhlasan adalah melakukan segala sesuatu semata-mata karena Allah, tanpa mengharapkan pujian, balasan, atau pengakuan dari manusia. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain dengan hati yang ikhlas, kasih sayang yang muncul adalah tulus dan murni. Perbuatan baik yang dilandasi keikhlasan akan memiliki dampak yang jauh lebih besar dan langgeng daripada perbuatan yang didasari motif tersembunyi.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
"Wa mā umirū illā liya‘budullāha mukhliṣīna lahud-dīna ḥunafā'a wa yuqīmuṣ-ṣalāta wa yu'tūz-zakāta; wa dhālika dīnul-qayyimah."
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Meskipun ayat ini berbicara tentang ibadah, prinsip keikhlasan berlaku untuk seluruh aspek kehidupan seorang Muslim, termasuk interaksi sosial. Ketika seseorang berbuat baik kepada orang lain dengan ikhlas, tanpa mengharapkan imbalan, kebaikan itu akan menyentuh hati. 'Pengasihan' yang tulus lahir dari hati yang ikhlas, dan itulah yang akan kekal.
Kesabaran (sabr) dan rasa syukur (syukur) adalah dua sifat yang saling melengkapi dan sangat penting dalam membangun 'pengasihan'. Kesabaran diperlukan saat menghadapi tantangan, kritik, atau perilaku yang kurang menyenangkan dari orang lain. Dengan sabar, seseorang dapat merespons dengan bijaksana, bukan dengan emosi, sehingga menjaga hubungan tetap baik.
Rasa syukur, di sisi lain, membantu seseorang untuk melihat kebaikan dalam setiap situasi dan pada setiap orang. Orang yang bersyukur cenderung lebih positif, optimis, dan memancarkan energi baik, yang secara alami menarik orang lain. Ia menghargai segala yang ada dan tidak mudah mengeluh.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Yā ayyuhal-ladhīna āmanusta‘īnū biṣ-ṣabri waṣ-ṣalāti; innallāha ma‘aṣ-ṣābirīn."
"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah [2]: 153)
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
"Wa iż ta'ażżana rabbukum la'in shakartum la'azīdanna-kum, wa la'in kafartum inna ‘ażābī lashadīd."
"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'." (QS. Ibrahim [14]: 7)
Kesabaran dan rasa syukur adalah dua sisi mata uang yang membuat seseorang menjadi pribadi yang tenang, positif, dan dapat diandalkan, sehingga secara otomatis menarik 'pengasihan' dari lingkungan sekitarnya.
Islam sangat menganjurkan umatnya untuk menjaga tali silaturahmi, yaitu menghubungkan dan memelihara hubungan kekerabatan dan persahabatan. Memutus silaturahmi adalah dosa besar. Sebaliknya, menyambung silaturahmi mendatangkan banyak berkah, termasuk memanjangkan umur dan meluaskan rezeki, serta menumbuhkan kasih sayang di antara sesama.
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
"Wattaqullāhal-lażī tasā'alūna bihī wal-arḥām. Innallāha kāna ‘alaikum raqībā."
"Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu." (QS. An-Nisa [4]: 1)
Silaturahmi adalah jembatan untuk menumbuhkan 'pengasihan' antar individu. Dengan saling mengunjungi, bertanya kabar, membantu saat kesulitan, dan berbagi kebahagiaan, ikatan kasih sayang akan semakin kuat. Ini adalah 'pengasihan' yang nyata, terwujud dalam interaksi sosial yang hangat dan penuh perhatian.
Ihsan adalah berbuat kebaikan seolah-olah kita melihat Allah, atau setidaknya menyadari bahwa Allah melihat kita. Ini berarti melakukan segala sesuatu dengan standar kualitas tertinggi, termasuk dalam berinteraksi dengan sesama. Memberi manfaat kepada orang lain, baik dengan harta, tenaga, ilmu, maupun sekadar senyuman dan kata-kata baik, adalah bentuk 'pengasihan' yang sangat disukai Allah.
وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
"Wa aḥsinū; innallāha yuḥibbul-muḥsinīn."
"Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Baqarah [2]: 195)
Ketika seseorang secara konsisten memberikan manfaat kepada orang lain, hatinya akan terbuka untuk menerima kasih sayang. Orang-orang akan mengingat kebaikan yang telah diperbuat, dan ini akan menumbuhkan rasa suka dan hormat. Ini adalah 'pengasihan' yang dibangun di atas fondasi kemanusiaan dan keimanan.
Keadilan adalah prinsip fundamental dalam Islam. Berbuat adil, bahkan kepada orang yang tidak kita sukai atau yang memusuhi kita, adalah perintah Allah. Keadilan menciptakan rasa aman dan kepercayaan, yang merupakan elemen penting dalam 'pengasihan'. Tanpa keadilan, akan sulit bagi kasih sayang untuk tumbuh, karena akan ada perasaan ketidakadilan dan ketidakseimbangan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Yā ayyuhal-ladhīna āmanū kūnū qawwāmīna lillāhi shuhadā'a bil-qisṭi; wa lā yajrimannakum shana'ānu qawmin ‘alā allā ta‘dilū. I‘dilū, huwa aqrabu lit-taqwā. Wattaqullāh; innallāha khabīrun bimā ta‘malūn."
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Ma'idah [5]: 8)
Keadilan adalah tiang 'pengasihan' yang kokoh. Ketika seseorang merasa diperlakukan adil, ia akan cenderung merespons dengan rasa hormat dan kasih sayang. Ini adalah 'pengasihan' yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Ilahiah.
Al-Qur'an sarat dengan ayat-ayat yang menginspirasi, memerintahkan, dan menggambarkan esensi kasih sayang. Memahami dan menginternalisasi ayat-ayat ini akan menjadi bimbingan utama dalam mengamalkan 'ilmu pengasihan' yang syar'i.
Allah SWT adalah sumber utama kasih sayang. Pengetahuan ini menenangkan hati dan memberikan motivasi untuk meneladani-Nya.
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Qul in kuntum tuḥibbūnallāha fattabi‘ūnī yuḥbibkumullāhu wa yaghfir lakum dhunūbakum. Wallāhu ghafūrun raḥīm."
"Katakanlah (Muhammad), 'Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Ali 'Imran [3]: 31)
Ayat ini adalah inti dari 'pengasihan' Ilahiah. Cinta sejati kepada Allah diwujudkan dengan mengikuti Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, kita akan mendapatkan cinta Allah, dan barang siapa yang dicintai Allah, maka Dia akan menanamkan cinta kepadanya di hati manusia. Ini adalah bentuk 'pengasihan' yang paling otentik dan kuat.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājan litaskunū ilaihā wa ja‘ala bainakum mawaddatan wa raḥmah. Inna fī dhālika la'āyātin liqawmin yatafakkarūn."
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar-Rum [30]: 21)
Ayat ini secara spesifik berbicara tentang 'pengasihan' dalam konteks pernikahan. Allah menanamkan mawaddah (cinta yang kuat dan gairah) dan rahmah (kasih sayang, belas kasihan) antara suami dan istri. Ini menunjukkan bahwa 'pengasihan' adalah karunia Ilahi yang sangat penting untuk keharmonisan rumah tangga, yang merupakan pondasi masyarakat.
Al-Qur'an secara eksplisit memerintahkan umat Muslim untuk berbuat baik dan menyebarkan kasih sayang kepada seluruh manusia, tanpa memandang ras, agama, atau status sosial.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
"Innamal-mu'minūna ikhwatun fa aṣliḥū baina akhawaikum. Wattaqullāha la‘allakum turḥamūn."
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat." (QS. Al-Hujurat [49]: 10)
Ayat ini menegaskan persaudaraan sesama mukmin, yang menuntut adanya 'pengasihan' dan upaya mendamaikan perselisihan. Persaudaraan adalah bentuk kasih sayang tertinggi yang harus dijaga.
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
"Wa bil-wālidayni iḥsānan wa bi dhil-qurbā wal-yatāmā wal-masākīni wal-jāri dhil-qurbā wal-jāril-junubi waṣ-ṣāḥibi bil-janbi wabnis-sabīli wa mā malakat aimānukum. Innallāha lā yuḥibbu man kāna mukhtālan fakhūrā."
"Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri." (QS. An-Nisa [4]: 36)
Ayat yang sangat komprehensif ini memberikan daftar panjang siapa saja yang harus kita beri 'pengasihan' dan kebaikan. Dari orang tua hingga tetangga, dari yatim hingga musafir, semuanya berhak atas perlakuan baik kita. Ini adalah peta jalan praktis untuk menyebarkan 'pengasihan' dalam masyarakat.
Memaafkan adalah jembatan untuk memulihkan hubungan yang rusak dan menumbuhkan kembali kasih sayang.
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Walya‘fū walyaṣfaḥū. Alā tuḥibbūna an yaghfirallāhu lakum? Wallāhu ghafūrun raḥīm."
"Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An-Nur [24]: 22)
Ayat ini mendorong kita untuk memaafkan dengan imbalan ampunan Allah. Ini adalah tawaran yang sangat berharga dan menunjukkan bahwa memaafkan adalah jalan menuju 'pengasihan' dari Allah dan sesama.
Setelah memahami prinsip-prinsip 'pengasihan' dari perspektif Al-Qur'an, langkah selanjutnya adalah mengaplikasikannya dalam setiap aspek kehidupan kita. Ini bukan sekadar teori, melainkan sebuah gaya hidup yang membutuhkan kesadaran dan praktik berkelanjutan.
Keluarga adalah inti masyarakat, dan di sinilah 'pengasihan' harus pertama kali dipupuk. Suami istri, orang tua anak, dan antar saudara harus saling menyayangi dan menghargai.
'Pengasihan' tidak terbatas pada lingkaran keluarga, tetapi meluas ke seluruh masyarakat.
لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Lā yanhākumullāhu ‘anil-ladhīna lam yuqātilūkumu fid-dīni wa lam yukhrijūkum min diyārikum an tabarrūhum wa tuqsiṭū ilaihim. Innallāha yuḥibbul-muqsiṭīn."
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)
Ayat ini menunjukkan bahwa 'pengasihan' dalam bentuk kebaikan dan keadilan harus diberikan bahkan kepada mereka yang berbeda agama, selama mereka tidak memusuhi umat Islam. Ini adalah bukti universalitas 'pengasihan' dalam Islam.
'Ilmu pengasihan' Ilahiah sangat relevan dalam menghadapi konflik. Ia mengajarkan kita untuk merespons dengan bijaksana, bukan dengan emosi destruktif.
Mengamalkan 'ilmu pengasihan' yang berlandaskan Al-Qur'an membawa banyak hikmah dan keutamaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Ini adalah tujuan tertinggi seorang mukmin. Ketika seseorang berusaha meneladani sifat-sifat kasih sayang Allah dan mengikuti petunjuk-Nya, maka Allah akan mencintainya. Dan barang siapa dicintai Allah, segala urusannya akan dimudahkan.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
"Innallāha yuḥibbul-muḥsinīn."
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Baqarah [2]: 195)
Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik, bertakwa, sabar, tawakal, dan adil. Semua sifat ini adalah bagian integral dari 'ilmu pengasihan' Ilahiah.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Dia akan jadikan ia dicintai oleh penduduk langit, lalu ia dicintai oleh penduduk bumi." Ini adalah manifestasi nyata dari 'pengasihan' yang tulus. Orang yang memiliki akhlak mulia, berbuat baik, dan menyebarkan kasih sayang akan secara alami mendapatkan tempat istimewa di hati orang lain.
Memaafkan, berbuat baik, dan melepaskan dendam akan membawa ketenangan batin. Hati yang dipenuhi kasih sayang tidak akan terbebani oleh kebencian atau iri hati. Ini adalah kebahagiaan sejati yang tidak dapat dibeli dengan materi.
Ketika individu-individu dalam masyarakat mengamalkan 'pengasihan' yang diajarkan Al-Qur'an, maka terciptalah lingkungan yang saling menghargai, tolong-menolong, dan penuh kedamaian. Konflik berkurang, dan solidaritas sosial meningkat.
Setiap perbuatan baik yang dilandasi niat tulus untuk menebarkan 'pengasihan' akan dicatat sebagai amal saleh dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Sebagai penutup, sangat penting untuk menegaskan kembali perbedaan fundamental antara 'ilmu pengasihan' yang berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah dengan praktik-praktik yang menyimpang dan dilarang dalam Islam. Kebingungan atau kesalahpahaman dalam hal ini bisa menjerumuskan seseorang pada dosa besar dan kerugian di dunia dan akhirat.
Prinsip utama dalam Islam adalah tauhid, mengesakan Allah dalam segala hal, termasuk dalam permohonan dan pertolongan. Menggunakan jimat, mantra-mantra yang tidak Islami, atau meminta bantuan kepada dukun, paranormal, atau jin untuk 'mengasihkan' seseorang adalah bentuk syirik (menyekutukan Allah). Ini berarti mengalihkan ketergantungan dan harapan dari Allah kepada makhluk ciptaan-Nya, yang tidak memiliki kekuatan sejati.
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
"Wa annahu kāna rijālum minal-insi ya‘ūdhūna bi rijālim minal-jinni fa zādūhum rahaqā."
"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa orang laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan." (QS. Al-Jinn [72]: 6)
Ayat ini dengan jelas memperingatkan bahaya meminta perlindungan atau pertolongan kepada jin, yang justru akan menambah beban dosa dan kesesatan.
'Pengasihan' yang dilarang seringkali bertujuan untuk memanipulasi atau memaksakan kehendak seseorang, seperti "pelet" yang bertujuan untuk membuat seseorang jatuh cinta di luar kehendaknya. Islam sangat menghargai kebebasan berkehendak dan kemuliaan manusia. Memaksa seseorang untuk mencintai adalah tindakan yang tidak etis dan tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan kasih sayang sejati.
Praktik 'pengasihan' yang terlarang seringkali membawa konsekuensi negatif di dunia, seperti rusaknya hubungan, timbulnya fitnah, masalah mental, hingga malapetaka. Di akhirat, ancamannya adalah azab yang pedih karena melanggar tauhid, pilar utama keimanan Islam.
Oleh karena itu, setiap Muslim wajib menjauhi segala bentuk praktik 'pengasihan' yang bertentangan dengan syariat, dan hanya berpegang pada metode 'pengasihan' yang telah digariskan oleh Al-Qur'an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Keindahan Islam terletak pada kesucian dan kemurnian ajarannya, yang membawa kebaikan bagi seluruh alam.
'Ilmu pengasihan dalam Al-Qur'an' bukanlah sebuah rahasia mistis atau teknik manipulasi hati, melainkan sebuah panduan hidup yang komprehensif untuk menjadi pribadi yang dicintai dan mencintai secara hakiki. Ini adalah tentang meneladani sifat-sifat kasih sayang Allah, membangun akhlak mulia yang terpuji, memupuk keikhlasan dalam setiap perbuatan, senantiasa memohon pertolongan kepada Allah melalui doa, dan menyebarkan kebaikan serta keadilan kepada seluruh makhluk.
Dengan mengamalkan pilar-pilar 'pengasihan' Ilahiah – yaitu akhlak mulia, doa yang tulus, keikhlasan, kesabaran, rasa syukur, menjaga silaturahmi, berbuat ihsan, dan berlaku adil – seorang mukmin akan memancarkan cahaya positif dari dalam dirinya. Cahaya ini akan menarik kasih sayang dari Allah SWT, dari sesama manusia, dan bahkan dari seluruh alam semesta. Ini adalah 'pengasihan' yang abadi, membawa kedamaian di hati, keharmonisan dalam hubungan, dan kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.
Marilah kita kembali kepada Al-Qur'an sebagai sumber utama bimbingan, mengambil setiap ayat sebagai cahaya penuntun, dan menjadikan kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan sempurna. Dengan demikian, kita akan menemukan bahwa 'ilmu pengasihan' yang sejati telah terangkum indah dalam ajaran Islam, menunggu untuk digali dan diamalkan oleh setiap jiwa yang mendambakan cinta dan kasih sayang Ilahiah.