Ilmu Welas Asih Kejawen: Jalan Harmoni Diri dan Semesta

Dalam bentangan sejarah peradaban Nusantara, khususnya di tanah Jawa, tersimpan kekayaan spiritual dan filosofis yang mendalam, salah satunya adalah Kejawen. Kejawen, seringkali dimaknai sebagai sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan laku spiritual yang berakar pada budaya Jawa, bukan sekadar sebuah agama dalam pengertian formal, melainkan lebih pada ajaran tentang bagaimana menjalani hidup yang selaras dengan alam semesta, Tuhan, dan sesama manusia. Inti dari ajaran ini adalah pencarian harmoni, keseimbangan, dan pencerahan diri, yang pada puncaknya bermuara pada pengembangan ilmu welas asih.

Welas asih, sebuah frasa yang terdengar sederhana namun memiliki bobot makna yang luar biasa, merupakan inti dari ajaran moral dan etika dalam tradisi Kejawen. Ia bukan hanya sekadar rasa iba atau kasihan, melainkan sebuah dimensi kasih sayang universal yang melampaui batas-batas pribadi, golongan, bahkan spesies. Welas asih dalam konteks Kejawen adalah manifestasi tertinggi dari kebijaksanaan dan kemuliaan budi pekerti yang harus dihidupi dan diamalkan oleh setiap individu.

Artikel ini akan mengupas tuntas tentang ilmu welas asih Kejawen, menelusuri akar filosofisnya, prinsip-prinsip ajarannya, praktik-praktik spiritual yang mendukungnya, hingga relevansinya dalam kehidupan modern yang serba cepat dan seringkali kering dari sentuhan kemanusiaan. Kita akan memahami bagaimana Kejawen mengajarkan kita untuk tidak hanya mengasihi sesama manusia, tetapi juga seluruh makhluk hidup, bahkan alam semesta, sebagai bagian tak terpisahkan dari Diri Yang Maha Agung.

Memahami Kejawen: Sebuah Jalan Spiritual dan Filosofis

Sebelum kita menyelami lebih dalam konsep welas asih, penting untuk memiliki pemahaman dasar tentang Kejawen itu sendiri. Kejawen bukanlah agama dengan dogma kaku dan ritual yang seragam. Ia lebih merupakan "jalan" atau "laku" (praktik spiritual) yang menekankan pada penghayatan dan pengalaman pribadi terhadap realitas ketuhanan dan keberadaan. Akar Kejawen sangat kaya, memadukan unsur-unsur animisme, dinamisme, Hindu-Buddha yang pernah berjaya di Nusantara, serta Islam yang kemudian datang dan berasimilasi.

Dalam Kejawen, hubungan antara manusia dengan Tuhan (Gusti Allah / Gusti Kang Murbeng Dumadi) sangat personal dan transenden. Konsep Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan) adalah puncak pencarian spiritual, di mana seseorang mencapai kesadaran bahwa dirinya adalah bagian integral dari keberadaan Ilahi. Kesadaran ini menumbuhkan rasa persatuan yang mendalam dengan seluruh ciptaan, sehingga tidak ada lagi dualitas atau pemisahan.

Fokus utama Kejawen adalah pada pembentukan budi pekerti luhur (ngèlmu kasampurnan) dan pencapaian kedamaian batin (katentraman jiwa). Ini dicapai melalui berbagai laku spiritual seperti tapa brata (bertapa), semedi (meditasi), tirakat (prihatin), dan menjalankan etika hidup yang harmonis. Semua laku ini pada dasarnya bertujuan untuk membersihkan diri dari hawa nafsu duniawi dan ego pribadi, sehingga nurani murni dapat terpancar dan welas asih dapat berkembang.

Ilustrasi bunga lotus atau teratai, simbol kemurnian dan welas asih dalam spiritualitas Kejawen.

Konsep Welas Asih dalam Kejawen: Lebih dari Sekadar Belas Kasihan

Welas asih (sering disebut juga welas lan asih, atau welas asih sejati) adalah jantung ajaran Kejawen. Istilah ini terdiri dari dua kata: "welas" yang berarti kasih sayang, belas kasihan, kepedulian; dan "asih" yang berarti cinta, kasih sayang yang mendalam, atau cinta kasih. Jadi, welas asih secara harfiah dapat diartikan sebagai "cinta kasih yang penuh belas kasihan" atau "kasih sayang yang tulus dan mendalam."

Namun, dalam konteks Kejawen, maknanya jauh lebih luas dan mendalam. Welas asih bukan sekadar emosi sesaat, melainkan sebuah kondisi kesadaran dan sikap hidup yang menyeluruh. Ia mencakup:

Welas asih Kejawen menekankan bahwa setiap individu adalah bagian dari satu kesatuan kosmik. Oleh karena itu, menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri, dan mencintai orang lain adalah mencintai diri sendiri dalam wujud yang lain. Ini adalah perwujudan dari filosofi sedulur papat lima pancer, di mana diri pribadi (pancer) dikelilingi oleh empat saudara (sedulur papat) yang merupakan representasi dari unsur-unsur pembentuk diri dan juga alam semesta. Kesadaran akan keterhubungan ini secara otomatis menumbuhkan welas asih.

Perbedaan dan Persamaan dengan Konsep Lain

Meskipun memiliki kemiripan dengan konsep kasih sayang atau cinta dalam berbagai tradisi spiritual dan agama lain (misalnya, metta dalam Buddhisme, agape dalam Kekristenan, atau cinta universal dalam tasawuf Islam), welas asih Kejawen memiliki nuansa khasnya sendiri. Ia sangat terikat pada pemahaman kosmologi Jawa, yang melihat alam semesta sebagai sebuah organisme hidup yang saling terhubung, di mana manusia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan dan harmoni.

Welas asih Kejawen juga tidak hanya berfokus pada kasih sayang terhadap manusia, tetapi juga terhadap alam semesta secara keseluruhan – pepohonan, hewan, sungai, gunung, bahkan makhluk tak kasat mata. Ini adalah manifestasi dari prinsip Memayu Hayuning Bawana, yang akan kita bahas lebih lanjut.

Pilar-Pilar Filosofis yang Menopang Welas Asih Kejawen

Ilmu welas asih Kejawen tidak berdiri sendiri, melainkan ditopang oleh beberapa pilar filosofis fundamental yang saling terkait dan menguatkan. Pemahaman terhadap pilar-pilar ini akan membuka gerbang menuju penghayatan welas asih yang lebih dalam dan menyeluruh.

1. Manunggaling Kawula Gusti: Kesatuan Hamba dan Tuhan

Ini adalah puncak spiritual dalam Kejawen. Manunggaling Kawula Gusti secara harfiah berarti "bersatunya hamba dengan Tuhan." Namun, ini bukanlah peleburan identitas atau menjadi Tuhan, melainkan pencapaian kesadaran tertinggi di mana seseorang menyadari bahwa dirinya adalah manifestasi kecil dari realitas Ilahi yang agung. Kesadaran ini menghilangkan ilusi dualitas antara pencipta dan ciptaan, antara mikro dan makro kosmos. Ketika seseorang mencapai kesadaran ini, ia akan melihat Tuhan dalam setiap aspek kehidupan, dalam setiap makhluk, dan dalam setiap fenomena alam.

Implikasi dari kesadaran Manunggaling Kawula Gusti terhadap welas asih sangatlah besar. Jika Tuhan ada dalam setiap entitas, maka menyakiti makhluk lain berarti menyakiti Tuhan itu sendiri, dan mencintai makhluk lain adalah bentuk memuliakan Tuhan. Welas asih kemudian menjadi sebuah respons alami dari hati yang telah melampaui ego dan menyatu dengan Kesadaran Universal.

2. Sangkan Paraning Dumadi: Asal dan Tujuan Kehidupan

Filosofi Sangkan Paraning Dumadi mengajarkan bahwa setiap makhluk berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Ini adalah siklus eksistensi yang tak terpisahkan. Pemahaman akan asal-usul yang sama ini menumbuhkan rasa persaudaraan universal. Jika kita semua berasal dari sumber yang sama dan menuju tujuan yang sama, maka esensinya kita adalah satu keluarga besar.

Kesadaran akan Sangkan Paraning Dumadi mendorong welas asih karena ia mengingatkan kita bahwa di balik segala perbedaan lahiriah, ada inti Ilahi yang sama dalam setiap individu. Penderitaan orang lain adalah penderitaan kita juga, karena kita semua terhubung dalam jalinan keberadaan yang sama. Oleh karena itu, menolong sesama bukan lagi sebuah kewajiban, melainkan sebuah ekspresi alami dari pemahaman akan kesatuan ini.

3. Memayu Hayuning Bawana: Memperindah Keindahan Dunia

Ini adalah prinsip etika dan kosmologi Kejawen yang sangat terkenal, berarti "memperindah keindahan dunia" atau "menjaga keharmonisan alam semesta." Konsep ini mengajarkan tanggung jawab moral manusia untuk tidak hanya menjaga keseimbangan dan kelestarian alam, tetapi juga untuk berkontribusi positif dalam menciptakan kebaikan, kedamaian, dan keindahan di mana pun ia berada.

Welas asih dalam konteks Memayu Hayuning Bawana bukan hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap seluruh ekosistem. Melindungi lingkungan, tidak merusak alam, menghargai setiap makhluk hidup (tumbuhan, hewan), dan berkontribusi pada kebaikan masyarakat adalah wujud nyata dari welas asih. Ini adalah ajaran yang relevan sepanjang masa, khususnya di era modern di mana kerusakan lingkungan dan konflik sosial menjadi isu global. Kejawen mengajarkan bahwa welas asih harus melampaui batas spesies dan mencakup semua yang ada di semesta.

Ilustrasi lingkaran konsentris yang mewakili kesatuan dan keterhubungan, simbol welas asih universal dalam Kejawen.

4. Sedulur Papat Lima Pancer: Empat Saudara dan Pusat Diri

Konsep ini sangat fundamental dalam memahami diri dalam Kejawen. Sedulur Papat (empat saudara) adalah representasi dari empat unsur utama pembentuk diri manusia sekaligus alam semesta: Tanah (bumi), Air (banyu), Api (geni), dan Angin (angin). Mereka juga sering diidentikkan dengan empat nafsu dasar manusia: amarah, lawwamah, sufiyah, muthmainah, atau saudara kembar non-fisik yang menjaga manusia sejak lahir (kembar mayang).

Sementara itu, Lima Pancer adalah diri sejati atau pusat kesadaran manusia. Kejawen mengajarkan bahwa untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian, seseorang harus mampu menyelaraskan dan mengendalikan keempat sedulur papat ini di bawah kendali pancer. Ketika keempat unsur ini selaras dan terkendali, maka welas asih akan terpancar secara alami.

Pemahaman ini menumbuhkan welas asih ke dalam diri (self-compassion) terlebih dahulu, sebelum meluas ke luar. Dengan memahami dan menerima semua aspek diri, termasuk yang "negatif," seseorang akan lebih mudah menerima dan mengasihi orang lain dengan segala kekurangannya. Sedulur Papat Lima Pancer mengajarkan bahwa harmoni internal adalah prasyarat untuk harmoni eksternal dan welas asih sejati.

5. Eling, Waspada, Legawa: Sadar, Waspada, Ikhlas

Tiga prinsip ini adalah pegangan utama dalam laku spiritual Kejawen untuk mencapai welas asih.

Ketika seseorang menghidupi ketiga prinsip ini, hatinya akan menjadi lebih bersih, pikirannya lebih jernih, dan jiwanya lebih tenang. Dalam kondisi seperti ini, welas asih akan muncul secara spontan sebagai ekspresi dari kemurnian batin.

Laku Spiritual dalam Kejawen untuk Menumbuhkan Welas Asih

Dalam Kejawen, welas asih bukanlah sekadar teori atau konsep abstrak, melainkan sesuatu yang harus dihidupi dan diamalkan melalui "laku" atau praktik spiritual. Laku-laku ini bertujuan untuk membersihkan diri, menajamkan intuisi, dan membuka hati agar welas asih dapat berkembang optimal.

1. Tapa Brata dan Semedi: Penempaan Diri

Tapa Brata (bertapa) dan Semedi (meditasi) adalah praktik kuno yang sangat penting dalam tradisi Kejawen. Keduanya bertujuan untuk melatih konsentrasi, mengendalikan pikiran dan hawa nafsu, serta mencapai ketenangan batin. Dalam heningnya tapa dan semedi, seseorang dapat terhubung dengan diri sejati (pancer) dan merasakan keterhubungan dengan Alam Semesta.

Melalui praktik ini, ego pribadi perlahan-lahan luntur, dan kesadaran welas asih mulai tumbuh. Hati yang tenang dan pikiran yang jernih lebih mudah merasakan penderitaan orang lain dan tergerak untuk menolong. Tapa brata bukan selalu berarti menyepi di gua, tetapi bisa juga berupa puasa, mengurangi tidur, atau menahan diri dari kesenangan duniawi untuk melatih kedisiplinan dan kemurnian batin.

2. Tirakat dan Prihatin: Melatih Kesederhanaan

Tirakat atau Prihatin adalah bentuk laku yang melibatkan menahan diri dari kesenangan duniawi atau melakukan sesuatu yang memerlukan pengorbanan, seperti puasa weton (puasa sesuai hari kelahiran), puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air), atau puasa ngebleng (tidak makan, minum, dan tidur dalam jangka waktu tertentu). Tujuan dari tirakat bukan untuk menyiksa diri, melainkan untuk melatih ketahanan mental, spiritual, dan menekan hawa nafsu.

Dengan mengurangi ketergantungan pada hal-hal duniawi, seseorang menjadi lebih ringan dan bebas dari ikatan. Hati yang telah "terbebas" dari keinginan berlebihan akan lebih mudah merasakan kebahagiaan sejati dan lebih terbuka untuk menumbuhkan welas asih kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan.

3. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake: Bijaksana Tanpa Kekerasan

Pepatah Jawa ini bermakna "menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan." Ini adalah prinsip welas asih dalam menghadapi konflik atau persaingan. Kejawen mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukanlah pada fisik atau kekuasaan, melainkan pada kemuliaan budi pekerti dan kebijaksanaan.

Ketika seseorang memiliki welas asih, ia akan berusaha menyelesaikan masalah dengan cara-cara damai, menghindari kekerasan, dan tidak merendahkan martabat orang lain, bahkan musuhnya sekalipun. Kemenangan sejati adalah ketika semua pihak merasa dihormati dan keharmonisan dapat dipulihkan. Ini adalah manifestasi welas asih dalam tindakan nyata untuk menciptakan kedamaian.

4. Ngelmu Padi: Filosofi Padi

Ngelmu Padi adalah ajaran yang mengambil inspirasi dari tanaman padi. "Makin berisi, makin merunduk." Ini mengajarkan kerendahan hati dan kesederhanaan. Semakin tinggi ilmu atau kekayaan yang dimiliki seseorang, seharusnya semakin rendah hati dan mau melayani orang lain.

Kerendahan hati adalah landasan penting bagi welas asih. Orang yang rendah hati tidak akan sombong, tidak mudah menghakimi, dan lebih mudah merasakan empati terhadap orang lain. Ia menyadari bahwa segala kelebihan yang dimilikinya adalah anugerah yang harus digunakan untuk kebaikan bersama, bukan untuk meninggikan diri.

5. Hamemayu Hayuning Pribadi: Memperindah Diri Sendiri

Sebelum dapat memperindah dunia (Memayu Hayuning Bawana), seseorang harus terlebih dahulu memperindah dirinya sendiri (Hamemayu Hayuning Pribadi). Ini berarti membersihkan hati, pikiran, dan perkataan dari hal-hal buruk, serta senantiasa berusaha menjadi pribadi yang berbudi luhur.

Praktiknya meliputi:

Ketika seseorang berhasil memperindah pribadinya, welas asih akan terpancar secara alami dari dalam dirinya, menjadi cahaya yang menerangi sekitarnya.

Ilustrasi matahari dan bulan di tengah lingkaran, dikelilingi siluet pohon dan gunung, melambangkan harmoni semesta dan welas asih terhadap alam.

Welas Asih dalam Kehidupan Sehari-hari: Implementasi Praktis

Ilmu welas asih Kejawen bukanlah ajaran yang disimpan di ruang-ruang ritual atau hanya diucapkan dalam wacana filosofis. Ia adalah panduan hidup yang harus diterapkan dalam setiap aspek keseharian. Berikut adalah beberapa manifestasi welas asih dalam praktik sehari-hari:

1. Bertutur Kata yang Lemah Lembut dan Menyenangkan (Lembah Manah)

Welas asih dimulai dari ucapan. Berbicara dengan sopan, menghindari kata-kata kasar atau menghina, dan selalu berusaha memberikan dukungan atau motivasi kepada orang lain adalah bentuk welas asih. Pepatah Jawa "ajining dhiri dumunung ana ing lathi" (harga diri seseorang terletak pada lidahnya) sangat relevan. Lidah bisa menjadi pedang yang melukai atau penawar yang menenangkan. Dengan welas asih, kita memilih untuk menenangkan.

2. Menolong Sesama Tanpa Pamrih (Lila Legawa)

Ini adalah inti dari welas asih. Ketika melihat orang lain kesulitan, welas asih mendorong kita untuk menolong tanpa memandang siapa orangnya, tanpa mengharapkan balasan, bahkan tanpa perlu diminta. Ini bisa berupa bantuan materi, tenaga, pikiran, atau sekadar memberikan perhatian dan mendengarkan. Keikhlasan dalam memberi adalah kunci.

3. Menjaga Harmoni Sosial (Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah)

Welas asih adalah pondasi kerukunan. Dengan welas asih, kita akan menghargai perbedaan, mencari titik temu daripada memperbesar perselisihan, dan selalu berusaha menjaga kedamaian dalam komunitas. Pepatah "rukun agawe santosa, crah agawe bubrah" (kerukunan menciptakan kekuatan, perselisihan menciptakan kehancuran) menegaskan pentingnya welas asih dalam membangun masyarakat yang kokoh.

4. Menghargai dan Melestarikan Alam (Memayu Hayuning Jagad)

Seperti yang telah dibahas, welas asih Kejawen meluas hingga ke alam. Praktiknya mencakup menjaga kebersihan lingkungan, tidak merusak tanaman, tidak menyiksa hewan, serta menggunakan sumber daya alam secara bijaksana. Ini adalah wujud penghormatan terhadap Sang Pencipta melalui ciptaan-Nya.

5. Mengembangkan Toleransi dan Empati

Dalam masyarakat yang plural, welas asih mendorong kita untuk memahami dan menghargai keyakinan, pandangan, dan latar belakang orang lain yang berbeda dari kita. Ini berarti tidak menghakimi, tidak memaksakan kehendak, dan selalu berusaha menempatkan diri pada posisi orang lain sebelum bertindak atau berbicara.

6. Pengampunan dan Melepaskan Dendam

Welas asih sejati juga termanifestasi dalam kemampuan untuk mengampuni kesalahan orang lain dan melepaskan dendam. Dendam dan kebencian hanya akan merusak diri sendiri. Dengan welas asih, kita memahami bahwa setiap orang bisa berbuat salah, dan pengampunan adalah jalan menuju kebebasan batin dan pemulihan hubungan.

7. Jujur dan Bertanggung Jawab (Setia ing Janji)

Welas asih juga berarti jujur dalam setiap perkataan dan perbuatan, serta bertanggung jawab atas pilihan dan tindakan kita. Ketulusan hati (jujur) adalah cerminan welas asih yang tidak ingin menyakiti atau menipu orang lain.

Tantangan dan Relevansi Ilmu Welas Asih Kejawen di Era Modern

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat, kompetitif, dan seringkali individualistis, ajaran welas asih Kejawen menghadapi berbagai tantangan. Namun, justru karena tantangan-tantangan inilah, relevansi dan urgensi ilmu welas asih Kejawen semakin menonjol.

Tantangan Modern:

Relevansi di Era Modern:

Meskipun menghadapi tantangan, ilmu welas asih Kejawen justru menawarkan solusi dan oase ketenangan di tengah badai modernitas:

  1. Mengatasi Krisis Empati: Dengan menekankan kesatuan dan keterhubungan (Manunggaling Kawula Gusti, Sangkan Paraning Dumadi), welas asih Kejawen dapat membantu individu mengatasi krisis empati dan menumbuhkan kepedulian tulus terhadap sesama dan lingkungan.
  2. Membangun Komunitas yang Harmonis: Prinsip rukun agawe santosa dan tepa slira adalah kunci untuk membangun masyarakat yang toleran, inklusif, dan damai di tengah keberagaman. Welas asih mendorong dialog dan pengertian, bukan konflik.
  3. Keseimbangan Hidup (Work-Life Balance): Ajaran laku spiritual seperti tapa, semedi, dan prihatin, meskipun tidak harus diterapkan secara harfiah, dapat diadaptasi menjadi praktik mindfulness atau meditasi modern. Ini membantu individu menjaga keseimbangan batin, mengurangi stres, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, yang pada gilirannya membuat hati lebih terbuka untuk welas asih.
  4. Etika Bisnis dan Lingkungan: Konsep Memayu Hayuning Bawana memberikan landasan etis bagi praktik bisnis yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Welas asih mendorong perusahaan untuk tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga bertanggung jawab sosial dan ekologis.
  5. Pengembangan Diri (Self-Growth): Fokus pada Hamemayu Hayuning Pribadi menjadikan welas asih sebagai alat pengembangan diri yang holistik. Dengan menumbuhkan welas asih dalam diri, seseorang menjadi pribadi yang lebih bijaksana, tenang, dan resilient. Ini juga melatih kemampuan untuk mengampuni diri sendiri dan orang lain, membebaskan diri dari beban masa lalu.
  6. Kesehatan Mental dan Emosional: Praktik welas asih telah terbukti secara ilmiah dapat mengurangi depresi, kecemasan, dan meningkatkan kebahagiaan. Dengan berfokus pada kebaikan orang lain, seseorang secara tidak langsung juga meningkatkan kesejahteraan emosionalnya sendiri.
  7. Fondasi Kepemimpinan yang Beretika: Seorang pemimpin yang mengamalkan welas asih akan memimpin dengan hati, mengutamakan kepentingan bersama, dan melayani rakyatnya dengan tulus. Ini sangat relevan dalam mencari pemimpin yang berintegritas dan peduli.

Welas asih Kejawen mengajarkan bahwa kemajuan sejati bukanlah hanya tentang teknologi atau ekonomi, melainkan tentang kemajuan spiritual dan kemanusiaan. Tanpa welas asih, kemajuan materiil bisa berujung pada kehancuran.

Manfaat Mengamalkan Ilmu Welas Asih Kejawen

Mengamalkan ilmu welas asih Kejawen membawa segudang manfaat, baik bagi individu maupun bagi masyarakat luas. Manfaat-manfaat ini bersifat holistik, mencakup dimensi fisik, mental, emosional, dan spiritual.

Manfaat bagi Individu:

Manfaat bagi Masyarakat dan Lingkungan:

Pada akhirnya, ilmu welas asih Kejawen bukan hanya tentang menjadi orang baik, tetapi tentang menjadi manusia seutuhnya, yang sadar akan keterkaitannya dengan semesta dan bertanggung jawab atas keberlangsungan harmoni di dalamnya. Ini adalah panggilan untuk kembali kepada fitrah kemanusiaan yang luhur.

Kesimpulan: Merangkul Welas Asih sebagai Jalan Hidup

Ilmu welas asih Kejawen adalah permata kearifan lokal yang tak ternilai harganya. Ia mengajarkan kita bahwa inti dari keberadaan adalah cinta kasih, persatuan, dan harmoni. Dari filosofi Manunggaling Kawula Gusti yang menyatukan hamba dengan Tuhan, hingga Memayu Hayuning Bawana yang mengajak kita menjaga keindahan semesta, setiap ajaran Kejawen bermuara pada pengembangan hati yang penuh welas asih.

Ini bukan sekadar doktrin untuk dihafal, melainkan "laku" atau jalan hidup yang harus dihayati dan diamalkan setiap saat. Mulai dari menata diri melalui prinsip Eling, Waspada, Legawa, mengendalikan hawa nafsu melalui tapa brata dan tirakat, hingga bermanifestasi dalam tindakan nyata berupa tutur kata yang lembut, tolong-menolong tanpa pamrih, dan menjaga kelestarian alam.

Di era modern yang kompleks ini, welas asih Kejawen menawarkan sebuah jangkar spiritual yang kokoh. Ia mengingatkan kita bahwa di balik segala hiruk-pikuk dan perbedaan, kita semua adalah bagian dari satu kesatuan yang agung. Dengan merangkul welas asih, kita tidak hanya menemukan kedamaian dan kebahagiaan pribadi, tetapi juga berkontribusi pada penciptaan dunia yang lebih adil, harmonis, dan penuh kasih. Marilah kita terus menggali dan mengamalkan ilmu welas asih ini, tidak hanya sebagai warisan budaya, tetapi sebagai panduan hidup yang abadi untuk kebaikan diri dan semesta.