Dalam lanskap kekayaan budaya Indonesia yang tak terbatas, setiap suku bangsa menyimpan mutiara kearifan lokal, termasuk sistem kepercayaan dan praktik spiritual yang telah diwariskan turun-temurun. Salah satu aspek yang seringkali diselimuti misteri dan mitos adalah apa yang dikenal sebagai pelet atau ilmu pengasihan. Di antara beragam tradisi ini, praktik pelet yang terkait dengan Suku Banjar di Kalimantan Selatan menonjol dengan kekhasan dan kompleksitasnya tersendiri. Artikel ini bertujuan untuk mengupas tuntas fenomena tersebut, bukan dari sudut pandang paranormal atau praktik, melainkan sebagai sebuah warisan budaya yang kaya akan nilai sejarah, filosofi, dan spiritualitas.
Pelet, dalam pemahaman umum masyarakat Indonesia, merujuk pada praktik ilmu gaib yang bertujuan untuk mempengaruhi alam perasaan seseorang agar timbul rasa kasih, sayang, atau ketertarikan. Konteks Suku Banjar memberikan dimensi unik pada praktik ini, memadukan elemen-elemen kepercayaan animisme, dinamisme, serta sentuhan sufisme Islam yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakatnya. Jauh dari sekadar bumbu cerita mistis, pelet Suku Banjar adalah cerminan dari sebuah pandangan dunia yang meyakini adanya interkoneksi antara manusia, alam semesta, dan kekuatan spiritual yang tak kasat mata.
Mengenal Suku Banjar dan Spiritualisme Lokal
Sebelum menyelami lebih jauh tentang pelet, penting untuk memahami latar belakang Suku Banjar itu sendiri. Suku Banjar adalah kelompok etnis yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan, Indonesia. Mereka dikenal dengan kebudayaan maritim dan sungai, karena sebagian besar wilayah mereka dikelilingi oleh jaringan sungai yang kompleks, terutama Sungai Barito. Identitas Banjar terbentuk dari perpaduan beragam pengaruh, meliputi budaya Dayak asli Kalimantan, peradaban Melayu, serta ajaran Islam yang masuk sekitar abad ke-15 hingga ke-17 melalui Kesultanan Banjar.
Integrasi Islam dalam masyarakat Banjar sangatlah mendalam, bahkan dikenal dengan sebutan "serambi Mekkah"-nya Indonesia. Namun, masuknya Islam tidak serta-merta menghapus kepercayaan dan praktik-praktik spiritual pra-Islam yang telah ada. Sebaliknya, terjadi sinkretisme atau perpaduan harmonis antara ajaran Islam dengan kepercayaan animisme (kepercayaan terhadap roh-roh yang mendiami alam) dan dinamisme (kepercayaan terhadap kekuatan gaib pada benda-benda tertentu). Dari sinilah muncul beragam tradisi spiritual, termasuk ilmu pengasihan, pengobatan tradisional, dan perlindungan diri, yang diakomodasi dalam kerangka pandangan dunia Banjar.
Dalam konteks spiritualisme Banjar, alam semesta dipandang sebagai entitas yang hidup, penuh dengan energi dan kekuatan yang saling berinteraksi. Pohon, batu, air, dan bahkan angin diyakini memiliki "penunggu" atau "energi" tertentu. Konsep ini menjadi dasar bagi banyak praktik spiritual, termasuk pelet, di mana pemanfaatan elemen alam dan kekuatan mantra menjadi kunci untuk mencapai tujuan tertentu.
Apa Itu Pelet dalam Konteks Banjar?
Pelet, atau sering juga disebut ilmu pengasihan atau ilmu daya tarik, dalam tradisi Banjar bukanlah sekadar sihir murahan seperti yang sering digambarkan dalam media massa. Ia adalah bagian dari sistem pengetahuan tradisional yang kompleks, yang diwariskan melalui garis keturunan atau diajarkan oleh para tetuha (sesepuh), dukun, atau ulama tertentu yang memiliki pemahaman mendalam tentang ilmu kebatinan.
Tujuan utama pelet adalah untuk menumbuhkan rasa kasih sayang, daya tarik, atau simpati dari orang lain. Ini bisa ditujukan untuk berbagai keperluan, tidak melulu urusan asmara. Beberapa fungsi pelet dalam masyarakat Banjar meliputi:
- Asmara dan Percintaan: Tujuan yang paling umum, yaitu untuk menarik hati lawan jenis, mengembalikan pasangan yang pergi, atau mempererat hubungan.
- Karir dan Bisnis (Penglaris): Untuk menarik pelanggan, membuat usaha lancar, atau mendapatkan simpati atasan/rekan kerja.
- Kewibawaan dan Kharisma: Meningkatkan aura positif seseorang agar disegani, dihormati, dan dipercaya dalam masyarakat atau lingkungan kerja.
- Perdamaian dan Kerukunan: Dalam beberapa kasus, pelet bisa digunakan untuk meredakan konflik atau menciptakan suasana yang lebih harmonis di antara individu atau kelompok.
Penting untuk dicatat bahwa dalam pandangan Banjar, praktik pelet seringkali dikategorikan berdasarkan niat dan metode. Ada yang dianggap "putih" (bersih) jika niatnya baik dan tidak merugikan orang lain, serta ada yang "hitam" jika niatnya jahat atau bersifat pemaksaan kehendak. Namun, garis batas antara keduanya bisa sangat tipis dan diperdebatkan.
Unsur-Unsur Utama dalam Praktik Pelet Banjar
Praktik pelet Banjar melibatkan kombinasi beberapa unsur esensial yang saling melengkapi untuk mencapai efek yang diinginkan. Unsur-unsur ini mencakup material, mantra, dan ritual.
1. Bahan-Bahan dan Media (Media Pelet)
Bahan-bahan yang digunakan dalam pelet Banjar sangat beragam, sebagian besar berasal dari alam dan diyakini memiliki kekuatan spiritual atau "tuah" tertentu. Berikut beberapa contoh yang sering disebut:
a. Unsur Nabati (Tumbuhan)
- Bunga-bunga Tertentu: Seperti bunga melati, kenanga, atau kembang tujuh rupa. Bunga-bunga ini sering digunakan karena keharuman dan keindahannya yang diyakini dapat menarik aura positif. Beberapa jenis bunga liar yang tumbuh di rawa-rawa atau hutan Kalimantan juga memiliki makna khusus.
- Bagian Tumbuhan Langka: Daun, akar, atau getah dari pohon-pohon tertentu yang dianggap sakral atau memiliki khasiat mistis. Contohnya, ada yang menggunakan daun Bidara (Ziziphus mauritiana) atau jenis tanaman hutan yang hanya diketahui oleh dukun tertentu.
- Minyak-minyakan dari Tumbuhan: Minyak kelapa hijau, minyak cendana, atau minyak wangi khusus yang diracik dari berbagai ekstrak tumbuhan. Minyak ini biasanya telah "diasmak" (diberi kekuatan mantra) dan digunakan sebagai media oles atau semprot.
- Bulu Perindu: Meskipun sering dikaitkan dengan serat tumbuhan (seringkali dari sejenis rerumputan atau akar tanaman tertentu yang bergerak saat terkena air), Bulu Perindu adalah salah satu media pelet paling populer di Indonesia, termasuk Banjar. Dipercaya memiliki energi penarik yang kuat.
b. Unsur Hewani (Hewan)
- Minyak Duyung: Dipercaya berasal dari air mata ikan duyung (manatee atau dugong). Mitosnya, air mata duyung yang menetes ke laut memiliki daya pikat luar biasa. Minyak ini sangat langka dan mahal, dan diyakini memiliki kekuatan pelet yang sangat ampuh, terutama untuk asmara dan pengasihan.
- Bagian Tubuh Hewan Langka: Contohnya, bagian dari Burung Elang, atau hewan lain yang dianggap memiliki karakteristik "daya tarik" atau "kesetiaan." Penggunaannya sangat terbatas dan kontroversial.
c. Unsur Mineral dan Benda Pusaka
- Batu Akik atau Permata: Batu-batu tertentu yang diyakini memiliki energi dan khasiat pengasihan setelah melalui ritual pengisian.
- Benda Pusaka: Keris, azimat, atau benda-benda lain yang telah diwariskan turun-temurun dan diyakini memiliki kekuatan spiritual. Benda-benda ini biasanya telah "diberi isi" atau "dikhodami" (diberi khadam/roh penjaga) oleh leluhur atau orang pintar.
- Air: Air dari sumber mata air tertentu, air hujan pertama, atau air yang telah dimantrakan (air rajahan) sering digunakan sebagai media cuci muka atau diminum.
2. Mantra dan Doa (Ajian/Jampi-Jampi)
Mantra adalah inti dari setiap praktik pelet. Dalam tradisi Banjar, mantra biasanya merupakan perpaduan antara bahasa Banjar kuno, bahasa Arab (terutama kutipan ayat Al-Qur'an atau zikir), dan kadang disisipi bahasa Sanskerta atau bahasa Dayak. Mantra-mantra ini tidak hanya sekadar rangkaian kata, melainkan diyakini mengandung energi dan kekuatan vibrasi yang dapat mempengaruhi alam spiritual.
- Bahasa: Mantra sering kali menggunakan bahasa kiasan, perumpamaan, dan sebutan khusus untuk kekuatan alam atau entitas gaib.
- Niat (Hajat): Setiap mantra diucapkan dengan niat yang sangat kuat dan fokus pada tujuan tertentu. Niat adalah "kendaraan" yang mengarahkan energi mantra.
- Kunci (Kunci Mantra): Beberapa mantra memiliki "kunci" atau bagian penutup yang harus diucapkan dengan cara tertentu untuk mengaktifkan kekuatannya.
- Penyelarasan: Mantra seringkali harus diselaraskan dengan nama target dan tanggal lahirnya (jika diketahui) untuk efek yang lebih spesifik.
Perlu ditekankan bahwa mantra pelet Banjar bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari dari buku semata. Kekuatannya sangat bergantung pada siapa yang mengucapkan (pewaris atau yang diijazahkan), tingkat spiritualitas, dan 'tirakat' (laku spiritual) yang telah dilakukan.
3. Ritual dan Prosesi (Laku Spiritual)
Ritual adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mengaktifkan dan mengarahkan kekuatan pelet. Setiap jenis pelet dan setiap praktisi mungkin memiliki ritual yang sedikit berbeda, namun umumnya melibatkan elemen-elemen berikut:
- Puasa atau Tirakat: Pelaku atau pemohon seringkali diwajibkan melakukan puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air), puasa patigeni (tidak makan, minum, dan tidur di tempat gelap), atau bentuk tirakat lainnya untuk membersihkan diri dan meningkatkan energi spiritual.
- Pembacaan Mantra: Mantra dibaca berulang-ulang dalam jumlah tertentu (misalnya 7, 41, 100, atau 1000 kali) pada waktu-waktu tertentu (tengah malam, menjelang subuh, atau saat matahari terbit/terbenam) yang dianggap memiliki energi kuat.
- Persembahan (Sesajen): Meskipun Islam adalah agama mayoritas, tradisi pra-Islam masih sering terlihat dalam bentuk sesajen sederhana yang dipersembahkan kepada "penunggu" atau "roh" yang diyakini membantu. Sesajen bisa berupa bunga, kemenyan, kopi pahit, kue-kue tradisional, atau rokok.
- Pemanfaatan Media: Media seperti minyak, air, atau benda pusaka akan "diberi energi" melalui ritual ini. Misalnya, minyak dioleskan ke bagian tubuh tertentu, air diminum atau digunakan untuk mandi/cuci muka, atau azimat dibawa ke mana-mana.
- Syarat dan Pantangan: Setelah ritual, biasanya ada syarat atau pantangan yang harus dipatuhi. Contohnya, tidak boleh melewati di bawah jemuran, tidak boleh berkata kotor, atau tidak boleh makan makanan tertentu. Melanggar pantangan diyakini dapat menghilangkan kekuatan pelet atau mendatangkan kesialan.
Jenis-Jenis Pelet dalam Tradisi Banjar
Secara garis besar, pelet Banjar dapat dikategorikan berdasarkan tingkat kekuatan, target, dan metode penggunaannya.
1. Pelet Umum (Pengasihan Umum)
Jenis pelet ini bertujuan untuk meningkatkan aura daya tarik atau kharisma seseorang secara umum. Targetnya bukan individu spesifik, melainkan untuk membuat pemakai disukai banyak orang, disegani, atau mudah mendapatkan simpati dalam pergaulan, pekerjaan, atau bisnis. Contohnya:
- Pemikat Dagang: Untuk melariskan jualan atau membuat pelanggan betah.
- Aura Kewibawaan: Meningkatkan kepercayaan diri dan karisma kepemimpinan.
- Pemanis Wajah: Membuat wajah terlihat lebih menarik dan memancarkan aura positif.
Biasanya, pelet ini melibatkan media air untuk mandi, minyak oles, atau batu akik yang dibawa. Mantranya lebih bersifat umum dan memohon agar diri diberkahi daya tarik.
2. Pelet Khusus (Pengasihan Target)
Ini adalah jenis pelet yang paling sering diasosiasikan dengan "pelet" dalam pandangan populer. Tujuannya adalah untuk menarik hati individu tertentu, seringkali dalam konteks asmara. Metode yang digunakan lebih spesifik dan kompleks:
- Pelet Tatapan/Senyuman: Kekuatan pelet diyakini disalurkan melalui tatapan mata atau senyuman kepada target.
- Pelet Jarak Jauh: Memanfaatkan media foto, nama, atau pakaian target untuk mengirimkan "energi" pengasihan dari kejauhan.
- Pelet Sentuhan/Media Makanan/Minuman: Pelet yang diaplikasikan pada makanan atau minuman yang kemudian dikonsumsi oleh target, atau melalui sentuhan fisik. Jenis ini sering dianggap lebih kuat namun juga lebih kontroversial karena berpotensi melanggar kehendak bebas seseorang.
Mantra untuk pelet khusus biasanya menyebut nama target dan nama orang tua target, dengan tujuan agar "energi" pelet langsung tertuju pada individu yang dimaksud.
3. Pelet Pengunci (Pangunci)
Jenis pelet ini bukan untuk menarik, melainkan untuk "mengunci" hati pasangan agar tidak berpaling atau selingkuh. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kesetiaan dan keharmonisan rumah tangga. Praktiknya bisa melibatkan media seperti rambut pasangan, kain bekas pakaian, atau benda-benda pribadi lainnya.
Filosofi dan Pandangan Dunia di Balik Pelet Banjar
Untuk memahami mengapa praktik seperti pelet dapat bertahan dan diyakini dalam masyarakat Banjar, kita perlu menelaah filosofi dan pandangan dunia yang melandasinya. Ini bukan sekadar takhayul, melainkan bagian dari sistem kepercayaan yang terstruktur.
1. Sinkretisme Islam dan Kepercayaan Lokal
Seperti yang disebutkan sebelumnya, identitas Banjar sangat dipengaruhi oleh Islam. Namun, kepercayaan animisme dan dinamisme pra-Islam tidak sepenuhnya hilang. Sebaliknya, mereka berpadu, menciptakan bentuk spiritualitas yang unik. Banyak mantra pelet Banjar yang diawali dengan basmalah atau shalawat Nabi, lalu disusul dengan menyebutkan entitas-entitas gaib lokal atau kekuatan alam. Ini menunjukkan upaya masyarakat untuk mengintegrasikan keyakinan lama dengan ajaran agama baru, menciptakan koeksistensi yang harmonis.
2. Konsep Energi dan Aura
Dalam pandangan tradisional Banjar, setiap makhluk hidup dan benda mati diyakini memiliki "energi" atau "daya." Konsep ini mirip dengan prana atau chi dalam tradisi Timur. Pelet bekerja dengan memanipulasi atau menarik energi-energi ini. Seseorang yang memiliki aura positif yang kuat akan secara alami menarik perhatian dan simpati. Pelet adalah cara untuk "mengisi" atau "memperbaiki" aura seseorang, atau mengarahkan energi positif ke target.
3. Kekuatan Kata dan Niat (Doa dan Mantra)
Mantra dan doa memiliki posisi sentral dalam praktik pelet. Kata-kata diyakini memiliki kekuatan penciptaan dan perubahan. Dengan mengucapkan mantra yang tepat dengan niat yang kuat, seseorang diyakini dapat "menggetarkan" alam semesta dan menarik kekuatan spiritual untuk mewujudkan hajatnya. Dalam tradisi Islam, konsep "do'a adalah senjata mukmin" sangat kuat, dan ini juga terrefleksi dalam keyakinan akan kekuatan mantra.
4. Interkoneksi Alam Semesta
Pandangan dunia Banjar meyakini bahwa segala sesuatu di alam semesta saling terhubung. Tindakan manusia, ucapan, dan bahkan pikiran dapat mempengaruhi lingkungan sekitar dan entitas gaib. Oleh karena itu, praktik pelet adalah upaya untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan alam ini untuk mencapai keseimbangan atau tujuan tertentu. Konsep harmoni dengan alam sangat dipegang teguh.
Peran Praktisi (Dukun, Tetuha, Guru)
Praktik pelet tidak bisa dilakukan sembarang orang. Biasanya, ia dipelajari dan diwariskan melalui orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan spiritual dan pengetahuan mendalam. Mereka sering disebut:
- Dukun: Istilah umum untuk penyembuh tradisional atau orang pintar.
- Tetuha/Sesepuh: Orang tua yang dihormati dan dianggap memiliki kearifan lokal serta pengetahuan spiritual.
- Guru Ilmu: Seseorang yang menguasai ilmu kebatinan dan dapat menurunkan ilmunya kepada murid.
Para praktisi ini tidak hanya sekadar menyediakan "jasa" pelet, tetapi juga berperan sebagai penasihat spiritual dan penjaga kearifan lokal. Mereka biasanya memiliki pemahaman tentang pantangan, etika penggunaan, dan konsekuensi dari praktik tersebut. Proses pemberian ilmu (ijazah) seringkali sangat selektif, tidak sembarang orang bisa mendapatkan atau mempelajarinya.
Dampak dan Konsekuensi Sosial Pelet
Seperti dua sisi mata uang, praktik pelet memiliki dampak dan konsekuensi yang beragam dalam masyarakat Banjar, baik positif maupun negatif.
Dampak Positif (dalam perspektif pemercaya):
- Solusi Masalah Sosial: Bagi sebagian orang, pelet dianggap sebagai jalan keluar terakhir untuk masalah asmara yang rumit, konflik rumah tangga, atau kesulitan ekonomi (misalnya dalam hal penglaris dagangan).
- Penguatan Ikatan Sosial: Pelet yang digunakan untuk pengasihan umum atau kewibawaan dapat membantu seseorang diterima di masyarakat, memperlancar komunikasi, dan bahkan meredakan ketegangan sosial.
- Kepercayaan Diri: Keyakinan bahwa seseorang memiliki "pengasihan" dapat meningkatkan kepercayaan diri dan aura positif secara psikologis.
- Pelestarian Budaya: Sebagai bagian dari warisan tak benda, praktik ini (terlepas dari kontroversinya) merupakan bagian dari kekayaan budaya Banjar yang perlu dipahami dan didokumentasikan.
Dampak Negatif dan Kontroversi:
- Eksploitasi dan Penipuan: Tingginya minat terhadap pelet seringkali dimanfaatkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab yang hanya mencari keuntungan finansial, menipu orang-orang yang sedang putus asa.
- Pelanggaran Kehendak Bebas: Pelet, terutama yang bersifat target khusus, seringkali dianggap melanggar hak asasi manusia dan kehendak bebas individu yang menjadi target. Ini menimbulkan pertanyaan etis yang serius.
- Konflik Sosial: Ketika efek pelet tidak sesuai harapan atau justru menimbulkan masalah baru, bisa terjadi konflik antarindividu atau antarkeluarga.
- Ketergantungan: Seseorang bisa menjadi sangat bergantung pada pelet untuk menyelesaikan masalahnya, kehilangan kemampuan untuk berjuang dan menyelesaikan masalah secara rasional.
- Persepsi Negatif: Di mata agama dan sebagian masyarakat modern, praktik pelet dianggap sebagai syirik (menyekutukan Tuhan) atau takhayul belaka, yang bertentangan dengan ajaran agama dan akal sehat.
Dalam masyarakat Banjar kontemporer, pandangan terhadap pelet bervariasi. Generasi tua mungkin masih sangat memegang teguh keyakinan ini, sementara generasi muda cenderung lebih skeptis atau melihatnya sebagai folklore. Namun, keberadaan pelet sebagai bagian dari diskursus spiritual dan budaya Banjar tidak dapat dipungkiri.
Pelet Banjar dalam Era Modern
Di era globalisasi dan informasi digital, praktik pelet Banjar menghadapi tantangan dan perubahan. Di satu sisi, akses informasi yang mudah melalui internet membuat orang semakin terbuka terhadap berbagai tradisi mistis, termasuk pelet. Ini memunculkan "pasar" baru bagi para praktisi yang memasarkan jasanya secara online, bahkan menawarkan pelet jarak jauh dengan jaminan keberhasilan.
Namun, di sisi lain, peningkatan rasionalitas dan edukasi juga membuat masyarakat semakin kritis. Banyak yang mulai mempertanyakan keabsahan dan etika praktik pelet. Organisasi keagamaan secara konsisten menyerukan untuk menjauhi praktik yang dianggap syirik ini. Ilmu pengetahuan modern menawarkan penjelasan psikologis dan sosiologis untuk fenomena daya tarik antarmanusia, mengurangi ketergantungan pada penjelasan spiritual.
Kendati demikian, pelet tidak akan sepenuhnya hilang dari perbendaharaan budaya Banjar. Ia akan terus hidup sebagai bagian dari folklore, cerita rakyat, dan bahkan identitas kolektif. Mungkin wujudnya akan berubah, dari ritual sakral menjadi lebih bersifat komoditas, atau tetap lestari dalam lingkaran-lingkaran kecil yang masih menjaga tradisi asli.
Melestarikan atau Mengabaikan?
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana masyarakat, khususnya generasi muda Banjar, harus menyikapi warisan budaya ini? Apakah harus dilestarikan, atau diabaikan karena dianggap ketinggalan zaman dan bertentangan dengan modernitas?
Sebagai sebuah warisan budaya tak benda, aspek historis, filosofis, dan sosiologis dari pelet Banjar memiliki nilai studi yang tinggi. Memahami mengapa praktik ini muncul, bagaimana ia berevolusi, dan peranannya dalam membentuk pandangan dunia masyarakat Banjar dapat memberikan wawasan berharga tentang kompleksitas budaya manusia.
Pelestarian di sini bukan berarti mendorong praktik atau penggunaan pelet secara aktif, melainkan menjaga narasi, dokumentasi, dan pemahaman tentang keberadaannya sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah dan spiritualitas Suku Banjar. Ini memungkinkan generasi mendatang untuk belajar dari kearifan leluhur, membedakan antara mitos dan realitas, serta mengambil nilai-nilai positif seperti pentingnya niat baik, etika dalam berinteraksi, dan hubungan harmonis dengan alam, tanpa terjebak dalam aspek-aspek yang merugikan atau bertentangan dengan keyakinan pribadi.
Pendidikan dan dialog terbuka menjadi kunci untuk menavigasi kompleksitas ini. Masyarakat dapat diajak untuk melihat pelet bukan sebagai alat untuk memanipulasi, melainkan sebagai jendela menuju pemahaman yang lebih dalam tentang spiritualitas nenek moyang mereka, yang kaya akan simbolisme dan nilai-nilai tersembunyi. Dengan demikian, warisan ini dapat tetap relevan, meskipun dalam bentuk yang berbeda, di tengah arus modernisasi.
Kesimpulan
Pelet Suku Banjar adalah fenomena yang jauh lebih kompleks daripada sekadar praktik sihir murahan. Ia adalah cerminan dari perpaduan unik antara kepercayaan pra-Islam dan ajaran Islam, yang membentuk pandangan dunia spiritual masyarakat Banjar. Melibatkan media alam, mantra yang diyakini kuat, dan ritual yang sarat makna, pelet digunakan untuk berbagai tujuan, dari asmara hingga penglaris usaha, serta peningkatan kewibawaan.
Meskipun kontroversial dan menghadapi tantangan di era modern, pelet tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi budaya Banjar. Pemahaman yang mendalam tentang asal-usul, filosofi, dan dampaknya memungkinkan kita untuk menghargai kompleksitas kearifan lokal tanpa harus terlibat dalam praktik yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai personal atau etika umum.
Pada akhirnya, pelet Suku Banjar mengingatkan kita akan betapa kayanya spiritualitas dan budaya Indonesia, serta pentingnya untuk selalu menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, antara keyakinan dan rasionalitas, demi kelestarian warisan yang berharga ini. Semoga artikel ini memberikan wawasan yang mencerahkan dan mendorong apresiasi yang lebih dalam terhadap salah satu aspek misterius namun mempesona dari budaya Nusantara.