Indonesia, dengan kekayaan budaya dan spiritualitasnya yang mendalam, telah lama menjadi rumah bagi berbagai kepercayaan dan praktik mistis. Di antara sekian banyak fenomena supranatural yang dipercayai oleh masyarakat, santet dan pelet adalah dua istilah yang paling sering disebut, seringkali dengan nada ketakutan, harapan, atau sekadar keingintahuan yang mendalam. Keduanya merupakan bagian tak terpisahkan dari narasi kultural di berbagai daerah, diwariskan dari generasi ke generasi, dan terus memicu perdebatan antara realitas dan mitos, sains dan spiritualitas.
Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam dunia santet dan pelet, mencoba memahami dari berbagai sudut pandang: apa sebenarnya definisi keduanya menurut kepercayaan lokal, bagaimana sejarah dan konteks budayanya, mekanisme kerja yang diyakini, dampak psikologis dan sosiologisnya, serta bagaimana pandangan modern mencoba menganalisis fenomena ini. Tanpa bermaksud mengamini atau menampik, tujuan artikel ini adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai kompleksitas kepercayaan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia ini.
Mari kita mulai perjalanan ini dengan membuka tabir pertama: memahami apa itu santet.
Apa Itu Santet?
Santet, dalam pengertian umum di Indonesia, merujuk pada praktik ilmu hitam atau sihir yang bertujuan untuk mencelakai seseorang dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Kepercayaan ini sangat bervariasi di berbagai daerah, namun intinya adalah mengirimkan energi negatif, benda gaib, atau bahkan penyakit kepada target dengan bantuan kekuatan supranatural. Pelaku santet biasanya adalah orang yang memiliki ilmu tertentu atau menyewa jasa seorang dukun atau paranormal.
Definisi dan Konteks Budaya
Istilah "santet" sendiri diyakini berasal dari bahasa Jawa Kuno, merujuk pada tindakan jahat yang dilakukan secara rahasia. Dalam kebudayaan Indonesia, santet seringkali dihubungkan dengan motif balas dendam, persaingan bisnis, kecemburuan, atau keinginan untuk melumpuhkan musuh. Kepercayaan akan santet ini telah ada sejak zaman dulu, bahkan sebelum masuknya agama-agama besar, dan terus hidup berdampingan dengan ajaran agama yang melarang praktik sihir.
Dalam konteks sosial, keberadaan santet seringkali menjadi kambing hitam atas musibah atau penyakit yang tidak dapat dijelaskan secara medis. Ini dapat menimbulkan kecurigaan, konflik antarindividu atau antarkeluarga, bahkan aksi main hakim sendiri terhadap mereka yang dituduh sebagai dukun santet atau pelaku. Oleh karena itu, santet bukan hanya sekadar kepercayaan individu, melainkan juga fenomena sosial yang kompleks.
Mekanisme yang Diyakini dalam Santet
Meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung, kepercayaan masyarakat memiliki narasi yang sangat detail mengenai bagaimana santet bekerja. Prosesnya seringkali melibatkan beberapa tahapan:
- Persiapan dan Ritual: Dukun santet biasanya memerlukan media tertentu yang terkait dengan target, seperti foto, potongan kuku, rambut, pakaian bekas, atau bahkan nama lengkap dan tanggal lahir. Media ini diyakini sebagai "jembatan" untuk menghubungkan energi dukun dengan target. Ritual dapat melibatkan pembacaan mantra-mantra khusus, pembakaran kemenyan atau dupa, penggunaan benda-benda mistis, dan sesajen.
- Pengiriman Energi atau Benda Gaib: Setelah ritual, energi negatif atau benda-benda gaib (seperti jarum, paku, serangga, pecahan kaca) diyakini dikirimkan ke tubuh target. Pengiriman ini bisa dilakukan melalui udara, tanah, atau bahkan melalui makanan dan minuman.
- Efek pada Korban: Korban santet diyakini akan mengalami berbagai penderitaan, seperti:
- Penyakit Misterius: Sakit yang tak kunjung sembuh, diagnosa medis yang tidak jelas, atau penyakit aneh yang muncul tiba-tiba.
- Kerugian Finansial: Usaha bangkrut, pekerjaan macet, atau kesulitan ekonomi yang tidak wajar.
- Kecelakaan Beruntun: Sial yang terus-menerus menimpa korban atau keluarganya.
- Gangguan Mental: Gila mendadak, depresi berat, halusinasi, atau perilaku aneh.
- Kematian: Dalam kasus santet paling parah, tujuan akhirnya adalah kematian target.
Jenis-jenis Santet (Menurut Kepercayaan)
Ada berbagai macam jenis santet yang dikenal di Indonesia, masing-masing dengan karakteristik dan efek yang berbeda:
- Santet Tali Pocong: Diyakini menggunakan media potongan tali pocong orang meninggal, bertujuan untuk membuat target sakit keras dan meninggal perlahan.
- Santet Jarum: Dikatakan mengirimkan jarum, paku, atau benda tajam kecil lainnya ke tubuh korban, menyebabkan rasa sakit yang parah dan dapat terlihat pada rontgen, namun anehnya tidak dapat diangkat secara medis.
- Santet Guna-guna: Lebih luas, bisa mencakup berbagai tujuan, mulai dari membuat korban sakit, gila, hingga merusak rumah tangga.
- Santet Kembalian: Santet yang bertujuan untuk mengembalikan atau membalas santet yang sebelumnya dikirimkan kepada si pelaku atau kliennya.
- Santet Sewu Dino (Seribu Hari): Diyakini membutuhkan waktu lama untuk berefek, namun dampaknya sangat mematikan dan seringkali ditujukan untuk melenyapkan seluruh keturunan target.
- Santet Mangkuk Jambat: Dipercaya bisa membuat korban merasa gatal-gatal di sekujur tubuh, seperti digigit serangga, tanpa sebab yang jelas.
- Santet Pecah Kaca: Konon bisa membuat benda-benda di rumah korban pecah secara misterius, menimbulkan suasana horor dan ketakutan.
Perbedaan jenis santet ini menunjukkan betapa kayanya imajinasi dan sistem kepercayaan masyarakat dalam menghadapi kekuatan gelap yang tak terlihat.
Apa Itu Pelet?
Berbeda dengan santet yang bertujuan mencelakai, pelet adalah praktik ilmu supranatural yang bertujuan untuk memengaruhi pikiran, perasaan, dan kehendak seseorang agar jatuh cinta, tunduk, atau terikat secara emosional kepada pengirim pelet atau kliennya. Pelet seringkali digunakan untuk tujuan asmara, namun kadang juga untuk tujuan bisnis atau karier agar disukai banyak orang atau atasan.
Definisi dan Konteks Budaya
Pelet berasal dari tradisi spiritual dan klenik yang ada di berbagai suku di Indonesia, terutama di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Kepercayaan ini seringkali muncul dari keinginan untuk mendapatkan cinta seseorang yang sulit digapai, mengembalikan pasangan yang selingkuh, atau mengikat kesetiaan seseorang. Pelet seringkali diyakini sebagai jalan pintas untuk mendapatkan afeksi tanpa perlu usaha pendekatan yang wajar.
Meskipun tampak "lebih ringan" daripada santet, pelet juga menimbulkan dampak serius. Korban pelet diyakini dapat mengalami gangguan mental, kehilangan akal sehat, ketergantungan emosional yang tidak wajar, bahkan perubahan perilaku drastis yang merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Dari sudut pandang etika, pelet dianggap melanggar kebebasan dan kehendak individu.
Mekanisme yang Diyakini dalam Pelet
Sama seperti santet, cara kerja pelet juga didasarkan pada kepercayaan dan ritual tertentu:
- Media dan Ritual: Dukun pelet juga memerlukan media yang terkait dengan target, seperti foto, nama lengkap, bekas pakaian, rambut, atau bahkan air liur. Ritual pelet bisa melibatkan pembacaan mantra yang disebut "ajian pelet" atau "rapalan", penggunaan rajah, minyak khusus (minyak pelet), bunga-bunga tertentu, dan sesajen. Ritual seringkali dilakukan pada waktu-waktu tertentu, seperti tengah malam atau pada hari-hari yang dianggap baik menurut primbon.
- Pengiriman Pengaruh: Energi pelet diyakini dikirimkan melalui media-media yang telah diisi mantra, atau bisa juga melalui sentuhan, tatapan mata, atau bahkan melalui makanan dan minuman yang diberikan kepada target.
- Efek pada Korban: Korban pelet diyakini akan menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:
- Cinta Obsesif: Tiba-tiba sangat mencintai dan terobsesi pada pengirim, bahkan jika sebelumnya tidak ada ketertarikan.
- Ketergantungan Emosional: Merasa tidak bisa hidup tanpa pengirim, selalu ingin dekat, dan cemas berlebihan jika berjauhan.
- Hilang Akal Sehat: Mengabaikan nasihat orang terdekat, rela berkorban apa pun demi pengirim, bahkan melakukan hal-hal yang tidak rasional.
- Perubahan Perilaku: Menjadi pribadi yang berbeda, tidak fokus, melamun, atau mudah dikendalikan.
- Benci Terhadap Keluarga/Teman: Dalam beberapa kasus, pelet bisa membuat korban membenci orang-orang yang mencoba memisahkannya dari pengirim.
Jenis-jenis Pelet (Menurut Kepercayaan)
Sama halnya dengan santet, pelet juga memiliki berbagai jenis dengan karakteristik dan efek spesifik:
- Pelet Jaran Goyang: Salah satu ajian pelet paling terkenal dari tanah Jawa. Diyakini sangat ampuh untuk memikat hati seseorang agar tergila-gila dan patuh. Efeknya konon bisa membuat korban selalu teringat dan merindukan si pengirim.
- Pelet Semar Mesem: Ajian pelet yang menggunakan khodam atau energi dari karakter Semar, tokoh pewayangan yang bijaksana dan berwibawa. Tujuannya untuk membangkitkan pesona, daya tarik, dan aura pengasihan sehingga banyak disukai orang.
- Pelet Pengeretan: Pelet yang bertujuan agar target royal dan boros kepada pengirim, sering digunakan untuk tujuan ekonomi atau materi.
- Pelet Perangsang: Pelet yang bertujuan membangkitkan gairah atau nafsu birahi pada target.
- Pelet Foto: Pelet yang menggunakan foto target sebagai media utama dalam ritual.
- Pelet Rokok/Minuman: Pelet yang disalurkan melalui rokok atau minuman yang diberikan kepada target.
- Pelet Mantra Tanpa Puasa: Diyakini sebagai jenis pelet yang lebih instan karena tidak memerlukan puasa atau ritual berat, namun efeknya mungkin tidak sekuat yang lain.
Keragaman jenis pelet ini mencerminkan keinginan manusia untuk mengendalikan perasaan dan takdir, seringkali dengan cara yang bertentangan dengan norma etika dan agama.
Sejarah dan Konteks Budaya Santet serta Pelet
Kepercayaan terhadap santet dan pelet bukanlah fenomena baru, melainkan telah mengakar jauh dalam sejarah dan budaya Indonesia. Untuk memahami mengapa kepercayaan ini begitu kuat, kita perlu melihat ke belakang dan menelusuri akarnya.
Akar Kepercayaan Animisme dan Dinamisme
Sebelum masuknya agama-agama besar, masyarakat Nusantara menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu di alam (pohon, batu, sungai, gunung) memiliki roh atau jiwa. Dinamisme adalah keyakinan akan adanya kekuatan supranatural yang tak terlihat, yang dapat bersemayam pada benda-benda tertentu atau makhluk halus.
Dari sinilah cikal bakal praktik sihir dan mistis seperti santet dan pelet muncul. Orang-orang berusaha berkomunikasi atau memanipulasi roh dan kekuatan gaib ini untuk berbagai tujuan: penyembuhan, perlindungan, keberuntungan, namun juga untuk mencelakai musuh atau memikat hati seseorang. Dukun atau syaman (pemimpin spiritual) pada masa itu berperan sebagai perantara antara dunia manusia dan dunia gaib.
Pengaruh Agama dan Sinkretisme
Ketika agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen masuk ke Nusantara, mereka membawa ajaran yang cenderung melarang praktik sihir dan perdukunan. Namun, alih-alih menghilang, kepercayaan asli ini seringkali beradaptasi dan berintegrasi dengan ajaran agama baru. Proses ini dikenal sebagai sinkretisme.
- Hindu-Buddha: Konsep-konsep tentang energi kosmis, mantra, dan ritual meditasi tertentu dapat dimaknai ulang untuk tujuan yang bersifat klenik.
- Islam: Meskipun Islam secara tegas melarang sihir (sihr), beberapa praktik lokal tetap bertahan dengan mengklaim dasar dari teks-teks keagamaan yang disalahpahami atau dimodifikasi (misalnya, penggunaan ayat-ayat Al-Qur'an untuk tujuan non-syar'i). Ada pula klaim tentang "ilmu hikmah" yang diyakini berasal dari ajaran Islam tetapi digunakan untuk tujuan yang ambigu.
- Kristen: Dalam beberapa komunitas Kristen, kepercayaan akan santet atau pelet dapat dikaitkan dengan kekuatan iblis atau roh jahat, dan penanganannya melalui doa pengusiran roh jahat.
Akibatnya, banyak praktik santet dan pelet yang kita kenal sekarang memiliki unsur-unsur campuran dari kepercayaan lokal pra-agama dan elemen-elemen dari agama-agama yang dianut. Mantra-mantra bisa saja bercampur bahasa Jawa Kuno dengan kutipan Arab yang disalahgunakan, atau ritual yang melibatkan sesajen di samping doa-doa formal.
Peran Dukun dan Paranormal
Dalam masyarakat tradisional, dukun adalah figur sentral yang dihormati sekaligus ditakuti. Mereka dipercaya memiliki kekuatan khusus, pengetahuan tentang dunia gaib, dan kemampuan untuk memanipulasi energi supranatural. Dukun tidak hanya melayani permintaan santet atau pelet, tetapi juga berperan sebagai penyembuh, penasihat spiritual, pencari barang hilang, atau pemberi jimat keberuntungan.
Peran dukun ini berlanjut hingga kini, meskipun dengan modernisasi dan akses informasi yang lebih baik, banyak masyarakat mulai mempertanyakan keabsahan praktik mereka. Namun, di banyak daerah, terutama pedesaan, dukun tetap menjadi rujukan utama ketika seseorang menghadapi masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh cara-cara konvensional, baik itu masalah kesehatan, asmara, maupun konflik sosial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kepercayaan akan santet dan pelet bukan hanya sekadar takhayul, melainkan bagian dari warisan budaya yang kompleks, yang terus berinteraksi dan beradaptasi dengan perubahan zaman dan keyakinan agama.
Aspek Psikologis dan Dampak Santet serta Pelet
Terlepas dari ada atau tidaknya realitas supranatural di balik santet dan pelet, dampak psikologis dari kepercayaan ini sangat nyata dan mendalam. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi individu yang merasa menjadi korban atau pelaku, tetapi juga merambat ke tatanan sosial dan kesehatan mental masyarakat.
Kekuatan Kepercayaan dan Efek Placebo/Nocebo
Salah satu penjelasan paling kuat dari sudut pandang psikologi adalah kekuatan kepercayaan. Ketika seseorang sangat meyakini bahwa ia telah disantet atau dipelet, keyakinan itu sendiri dapat memicu serangkaian respons fisik dan mental:
- Efek Nocebo: Ini adalah kebalikan dari efek placebo. Jika placebo adalah penyembuhan karena keyakinan akan obat (meski hanya gula), nocebo adalah timbulnya gejala penyakit atau efek negatif karena keyakinan akan bahaya atau kutukan. Seseorang yang merasa disantet, dengan keyakinan yang kuat, dapat secara sugestif memunculkan gejala-gejala fisik seperti mual, pusing, nyeri, bahkan lumpuh. Tubuh merespons ketakutan dan kecemasan yang mendalam.
- Kecemasan dan Stres: Ketakutan akan santet atau pelet dapat menyebabkan tingkat stres dan kecemasan yang sangat tinggi. Stres kronis dapat melemahkan sistem imun tubuh, membuat seseorang lebih rentan terhadap penyakit fisik, dan memperburuk kondisi kesehatan mental.
- Depresi dan Paranoid: Korban yang merasa "terkunci" oleh santet atau pelet seringkali menarik diri dari sosial, mengalami depresi berat, dan mengembangkan paranoid terhadap orang-orang di sekitarnya, mencari-cari siapa yang mungkin menjadi pelaku.
- Konfirmasi Bias: Orang cenderung mencari dan menafsirkan informasi yang mengkonfirmasi keyakinan mereka. Ketika seseorang sakit dan teringat ia memiliki musuh, ia akan cenderung mengaitkan penyakitnya dengan santet musuhnya, mengabaikan kemungkinan penjelasan medis lainnya.
Dampak Psikologis pada Korban Pelet
Khusus untuk pelet, dampak psikologisnya bisa sangat menghancurkan:
- Kehilangan Otonomi Diri: Korban pelet diyakini kehilangan kendali atas pikiran dan perasaannya sendiri. Mereka merasa terpaksa mencintai seseorang, meskipun secara rasional mereka tahu itu salah atau merugikan. Ini adalah bentuk pencurian kebebasan pribadi yang sangat menyakitkan.
- Isolasi Sosial: Ketika korban pelet bertindak tidak rasional dan mengabaikan nasihat keluarga atau teman, mereka seringkali diasingkan. Hal ini memperparah kondisi mental mereka, membuat mereka semakin bergantung pada orang yang mempelet.
- Gangguan Identitas: Perubahan perilaku dan emosi yang drastis dapat menyebabkan kebingungan identitas. Korban mungkin tidak lagi mengenali dirinya sendiri.
- Trauma: Jika efek pelet diyakini berhasil "dipatahkan," korban mungkin mengalami trauma psikologis yang mendalam akibat pengalaman dikendalikan dan hilangnya kendali diri.
Dampak Sosial dan Kesehatan Mental
Di tingkat masyarakat, kepercayaan pada santet dan pelet dapat menimbulkan masalah serius:
- Krisis Kepercayaan: Kepercayaan pada santet dapat merusak ikatan sosial, memicu kecurigaan, dan perselisihan antarwarga. Saling tuduh pelaku santet seringkali berujung pada kekerasan.
- Pengabaian Pengobatan Medis: Masyarakat yang terlalu kuat kepercayaannya pada santet atau pelet mungkin mengabaikan pengobatan medis yang seharusnya, dan malah mencari pengobatan alternatif ke dukun. Ini bisa berakibat fatal jika penyakit yang diderita sebenarnya dapat diobati secara medis.
- Stigma Sosial: Mereka yang dicap sebagai "korban santet" atau "terkena pelet" dapat mengalami stigma sosial, dipandang aneh, atau bahkan dihindari.
- Eksploitasi: Orang-orang yang ketakutan atau putus asa seringkali menjadi korban eksploitasi oleh oknum dukun atau paranormal yang mengambil keuntungan finansial dengan menjual janji-janji palsu atau ritual yang mahal.
Memahami aspek psikologis ini sangat penting karena ia menunjukkan bahwa bahkan tanpa intervensi supranatural yang terbukti, dampak dari kepercayaan pada santet dan pelet adalah nyata dan memerlukan perhatian serius, terutama dari sisi kesehatan mental dan edukasi masyarakat.
Perspektif Modern dan Penjelasan Alternatif
Di era modern, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan informasi yang semakin terbuka, kepercayaan pada santet dan pelet seringkali dihadapkan pada pertanyaan dan keraguan. Bagaimana ilmu pengetahuan mencoba menjelaskan fenomena yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap nyata ini? Adakah penjelasan alternatif yang lebih rasional?
Pendekatan Ilmiah dan Skeptisisme
Dari sudut pandang ilmiah, santet dan pelet tidak memiliki dasar bukti empiris yang kuat. Fenomena ini tidak dapat direplikasi dalam kondisi terkontrol, dan klaim-klaim tentang energi atau benda gaib tidak dapat diukur atau dibuktikan secara objektif. Para ilmuwan dan skeptis cenderung mencari penjelasan yang lebih rasional:
- Penjelasan Medis: Banyak penyakit yang dikaitkan dengan santet sebenarnya adalah penyakit medis yang memiliki gejala unik, sulit didiagnosis, atau belum dipahami oleh masyarakat awam. Contohnya, penyakit autoimun, infeksi langka, atau gangguan neurologis dapat menampilkan gejala aneh yang disalahpahami sebagai akibat santet. Demikian pula, penyakit mental seperti skizofrenia, depresi berat, atau gangguan bipolar seringkali disalahartikan sebagai "kerasukan" atau "gila karena santet/pelet".
- Psikologi Klinis: Seperti yang telah dibahas, efek nocebo dan sugesti memiliki peran besar. Stres, kecemasan, dan trauma dapat memicu respons fisik dan mental yang serius, yang kemudian diinterpretasikan sebagai serangan gaib. Gangguan obsesif-kompulsif (OCD) atau gangguan delusi juga bisa menjelaskan perilaku terobsesi yang dikaitkan dengan pelet.
- Sosiologi dan Antropologi: Para sosiolog dan antropolog melihat santet dan pelet sebagai konstruksi sosial yang berfungsi dalam masyarakat. Kepercayaan ini bisa menjadi alat untuk menjaga ketertiban sosial (misalnya, menakut-nakuti agar orang tidak berbuat jahat), menjelaskan ketidakadilan, atau menjadi mekanisme katarsis bagi individu yang merasa tidak berdaya.
- Kecelakaan dan Kebetulan: Seringkali, peristiwa buruk atau kesialan yang terjadi secara alami (kecelakaan, kegagalan bisnis) dihubungkan dengan santet jika ada konflik atau rasa iri sebelumnya. Manusia cenderung mencari pola dan makna, bahkan dalam peristiwa acak.
- Manipulasi dan Penipuan: Tidak dapat dimungkiri, ada banyak kasus di mana klaim santet atau pelet digunakan sebagai alat penipuan oleh oknum yang mencari keuntungan materiil atau bertujuan untuk memanipulasi orang lain.
Relevansi dalam Masyarakat Modern
Meskipun ada penjelasan rasional, kepercayaan pada santet dan pelet tidak serta merta hilang di masyarakat modern. Beberapa faktor yang mungkin berkontribusi terhadap kelestariannya adalah:
- Pendidikan yang Belum Merata: Di daerah-daerah dengan akses pendidikan yang terbatas, pemahaman tentang kesehatan dan ilmu pengetahuan mungkin masih rendah, sehingga kepercayaan mistis lebih mudah berkembang.
- Kesenjangan Ekonomi dan Sosial: Ketidakadilan, persaingan yang ketat, atau frustrasi dalam mencapai tujuan hidup bisa mendorong seseorang mencari jalan pintas atau penjelasan supranatural atas kegagalan mereka.
- Media Massa dan Hiburan: Film, sinetron, atau acara televisi yang mengangkat tema mistis seringkali ikut melestarikan dan bahkan mempopulerkan narasi tentang santet dan pelet, meskipun seringkali dengan bumbu dramatisasi yang berlebihan.
- Identitas Budaya: Bagi sebagian orang, kepercayaan ini adalah bagian dari identitas budaya dan tradisi nenek moyang yang harus dihormati dan dilestarikan, terlepas dari kebenarannya secara ilmiah.
- Kebutuhan Psikologis: Manusia secara alami mencari makna dan penjelasan untuk hal-hal yang tidak diketahui. Ketika sains belum bisa memberikan jawaban yang memuaskan atau nyaman, mistisme seringkali menjadi tempat berlindung.
Pandangan Agama Terhadap Santet dan Pelet
Sebagian besar agama monoteis melarang praktik santet dan pelet. Dalam Islam, praktik sihir (sihr) adalah dosa besar dan musyrik (menyekutukan Tuhan), karena dianggap meminta pertolongan selain kepada Allah. Dalam Kristen, praktik sihir dan perdukunan dianggap sebagai perbuatan yang menjauhkan diri dari Tuhan dan dikaitkan dengan kekuatan jahat. Ajaran agama menekankan pentingnya tawakal (berserah diri kepada Tuhan), berdoa, dan berikhtiar secara halal, serta menjauhi hal-hal yang berbau syirik.
Namun, dalam beberapa komunitas, terdapat interpretasi yang berbeda atau kepercayaan sinkretis yang masih membiarkan praktik-praktik ini hidup berdampingan dengan keyakinan agama formal mereka. Konflik antara ajaran agama dan kepercayaan lokal ini seringkali menimbulkan dilema moral dan spiritual bagi individu.
Dengan demikian, pandangan modern tidak sepenuhnya menampik keberadaan fenomena yang disebut santet dan pelet, melainkan mencoba memberikan kerangka penjelasan yang lebih rasional, ilmiah, dan etis terhadap dampak serta akar-akar kepercayaan tersebut dalam masyarakat.
Pencegahan dan Cara Mengatasi Santet serta Pelet
Meskipun penjelasan modern cenderung skeptis terhadap aspek supranatural, dampak kepercayaan pada santet dan pelet adalah nyata dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana masyarakat secara tradisional atau modern mencoba mencegah dan mengatasi fenomena ini.
Pencegahan dari Sudut Pandang Kepercayaan
Bagi mereka yang meyakini keberadaan santet dan pelet, pencegahan seringkali berfokus pada perlindungan diri secara spiritual:
- Mendekatkan Diri pada Tuhan: Ini adalah cara paling umum dan paling utama dalam semua agama. Dengan memperkuat iman, ibadah, doa, dan zikir (bagi Muslim), seseorang diyakini memiliki benteng spiritual yang kuat yang sulit ditembus oleh kekuatan jahat.
- Menjaga Perilaku dan Hati: Diyakini bahwa orang yang memiliki hati bersih, tidak menyimpan dendam, dan selalu berbuat baik cenderung lebih sulit disantet atau dipelet. Energi positif dari perilaku baik dapat menjadi perisai.
- Jimat atau Rajah: Beberapa orang menggunakan jimat, rajah, atau benda-benda lain yang telah "diisi" oleh dukun atau pemuka spiritual sebagai penangkal. Benda-benda ini dipercaya memiliki khasiat untuk menolak serangan gaib.
- Ritual Penolak Bala: Di beberapa daerah, ada ritual-ritual khusus atau sesajen yang dilakukan secara berkala untuk menolak bala atau energi negatif yang mungkin datang.
- Waspada Terhadap Orang Asing: Menghindari menerima makanan atau minuman dari orang yang tidak dikenal atau dicurigai, terutama dalam konteks pelet.
Cara Mengatasi (Menurut Kepercayaan)
Apabila seseorang diyakini telah terkena santet atau pelet, ada beberapa cara yang umumnya dilakukan untuk mengatasinya:
- Mencari Pengobatan ke Dukun/Orang Pintar: Ini adalah jalur yang paling umum. Dukun atau orang pintar diyakini dapat "mengeluarkan" santet atau "mematahkan" pelet melalui ritual khusus, pembacaan mantra, pemberian ramuan, atau jampi-jampi.
- Ruqyah (Islam): Dalam Islam, ruqyah adalah metode penyembuhan dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur'an dan doa-doa kepada Allah, dengan keyakinan bahwa kekuatan firman Allah dapat mengusir jin atau energi negatif penyebab santet/pelet.
- Doa dan Ibadah Khusus (Kristen/Katolik): Dalam Kristen, ada praktik doa pelepasan atau pengusiran roh jahat yang dilakukan oleh pendeta atau pastor yang terlatih.
- Mandi Ruwatan/Mandi Kembang: Beberapa tradisi melibatkan mandi dengan air kembang atau ramuan khusus yang diyakini dapat membersihkan aura negatif.
- Perubahan Pola Pikir: Dalam konteks pelet, seringkali disarankan agar korban menjauhkan diri dari pelaku dan mengubah pola pikir, didampingi oleh orang terdekat agar kembali pada akal sehatnya.
Pendekatan Rasional dan Modern
Bagi mereka yang tidak percaya pada aspek supranatural, atau yang mencari solusi komprehensif, pendekatan modern lebih mengedepankan:
- Pendidikan dan Literasi Kesehatan: Mengedukasi masyarakat tentang berbagai jenis penyakit, gejala, dan pengobatan medis yang tepat sangat krusial. Ini membantu mengurangi kecenderungan mengaitkan penyakit dengan santet.
- Pendidikan Kesehatan Mental: Meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, mengenali gejala gangguan jiwa, dan mendorong orang untuk mencari bantuan profesional (psikolog, psikiater) daripada ke dukun. Terapi kognitif-behavioral (CBT) dapat membantu mengubah pola pikir negatif dan mengatasi kecemasan.
- Penyelesaian Konflik secara Damai: Mendorong dialog dan mediasi untuk menyelesaikan perselisihan sosial, persaingan bisnis, atau masalah asmara. Ini mencegah munculnya motif balas dendam atau iri hati yang menjadi pemicu keyakinan santet/pelet.
- Membangun Lingkungan Sosial yang Sehat: Menciptakan komunitas yang saling mendukung, tidak mudah menyalahkan atau mencurigai, dan mengedepankan rasionalitas serta toleransi.
- Hukum dan Keadilan: Memastikan penegakan hukum yang adil untuk kasus-kasus penipuan berkedok santet/pelet, atau kasus kekerasan akibat tuduhan santet.
- Peningkatan Kesejahteraan: Mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial dapat mengurangi rasa frustrasi atau keputusasaan yang mendorong orang mencari jalan pintas melalui praktik mistis.
Pada akhirnya, strategi terbaik mungkin adalah pendekatan yang holistik: menghormati keyakinan budaya sembari mengedukasi dengan informasi yang akurat, serta memprioritaskan kesehatan fisik dan mental melalui jalur profesional. Ini memungkinkan individu untuk membuat keputusan yang lebih tepat dan melindungi diri mereka dari kerugian yang mungkin timbul, baik dari praktik supranatural maupun dari efek psikologis kepercayaan tersebut.
Kesimpulan
Fenomena santet dan pelet adalah bagian yang tak terpisahkan dari lanskap budaya dan spiritualitas di Indonesia. Sebagai sebuah kepercayaan yang telah ada sejak lama, keduanya mencerminkan kompleksitas cara pandang manusia terhadap hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal sehat atau penjelasan ilmiah semata.
Santet, dengan tujuan mencelakai, dan pelet, dengan tujuan memengaruhi perasaan, sama-sama berakar pada keinginan manusia untuk mengendalikan takdir, membalas dendam, atau mendapatkan apa yang diinginkan. Kepercayaan ini telah membentuk narasi sosial, memengaruhi interaksi antarindividu, dan bahkan memicu konflik serta tindakan di luar batas hukum.
Dari sudut pandang modern, banyak dari fenomena yang dikaitkan dengan santet dan pelet dapat dijelaskan melalui lensa psikologi (seperti efek nocebo, sugesti, dan gangguan mental), sosiologi (sebagai konstruksi sosial), atau medis (sebagai penyakit yang belum terdiagnosis). Namun, penting untuk diakui bahwa bagi penganutnya, realitas supranatural ini adalah kebenaran yang tidak bisa ditawar.
Menyikapi santet dan pelet memerlukan pendekatan yang bijaksana. Bukan dengan serta-merta mengamini atau menampik, melainkan dengan memahami akar historis, konteks budaya, serta dampaknya yang nyata terhadap individu dan masyarakat. Pendidikan yang memadai, akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, peningkatan literasi kesehatan mental, serta penekanan pada nilai-nilai moral dan spiritual yang positif dapat menjadi benteng terkuat dalam menghadapi potensi dampak negatif dari kepercayaan ini.
Pada akhirnya, artikel ini bertujuan untuk mengajak kita merenung bahwa di balik setiap mitos dan kepercayaan, selalu ada lapisan-lapisan realitas manusia—ketakutan, harapan, keinginan, dan pencarian akan makna—yang patut untuk dipahami dengan empati dan pikiran terbuka.